Selamat Datang Di Blog BEM Fakultas Hukum Univ. Widya Gama Mahakam Samarinda

kami berharap anda memberikan saran dan kritikan kepada kami

Selasa, 11 Januari 2011

Pengertian, Ruang Lingkup dan Proses Praperadilan di Indonesia

Pengertian, Ruang Lingkup dan Proses Praperadilan di Indonesia

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain baik secara preventif maupun represif. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah terkadang terdapat tindakan – tindakan yang justru tidak sesuai dengan prosedur yang ada
Praperadilan sebagai salah satu proses hukum yang dapat diupayakan dalam suatu proses hukum haruslah dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Namun dalam kenyataannya praperadilan masih menimbulkan masalah tersendiri. Masing – masing pihak yang berperkara memiliki agumen tersendiri yang menyatakan bahwa dirinya adalah pihak yang benar.
Praperadilan yang bersifat sebagai “peradilan awal” sebelum benar – benar masuk dalam ruang lingkup peradilan yang sesungguhnya haruslah dimengerti secara menyeluruh. Baik secara pengertian, ruang lingkup maupun proses peradilan itu sendiri.
2.1 PENGERTIAN PRAPERADILAN
Praperadilan, dalam istilah hukum Indonesia, adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
• Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
• Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
• Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa persoalan praperadilan telah menjadi wewenang pengadilan negeri selain memeriksa dan memutuskan perkara pidana dan perdata. Persoalan praperadilan ini menjadi bagian dari tugas dan wewenang Pengadilan Negeri yang tidak boleh ditangani oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan lain.
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses acara praperadilan bukanlah sebagian dari tugas memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidananya itu sendiri, Oleh karena itu putusan praperadilan walaupun yang mencakup sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan juga bukan merupakan atau yang dapat digolongkan sebagai putusan akhir walaupun dapat dimintakan banding. Putusan akhir mengenai hal tersebut ada pada Pengadilan Negeri. Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan adalah yang khas, spesifik, dan mempunyai karakter sendiri, sebab disini hakim hanya mempunyai tugas dan wewenang sebagai sarana pengawasan secara horisontal demi penegakan hukum, keadilan dan kebenaran.
Sifat praperadilan tersebut akan berfungsi sebagai pencegahan terhadap upaya paksa sebelum seseorang diputus oleh Pengadilan, pencegahan yang dimaksud disini dapat berupa pencegahan terhadap tindakan yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara serta pencegahan terhadap tindakan yang melanggar hak asasi tersangka atau terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan.
2.2 RUANG LINGKUP PRAPERADILAN
Menurut KUHAP, yang termasuk dan menjadi lingkup praperadilan meliputi perkara :
a. Sah atau tidaknya penangkapan;
b. Sah atau tidaknya penahanan;
c. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
d. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan
e. Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya
dihentikan pada tingkat penyidikan;
f. Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya
dihentikan pada tingkat penuntutan;
g. Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan
h. Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penuntutan.
Adapun alasan-alasan sahnya untuk penghentian penyidikan adalah sebagai berikut :
1. Tidak terdapat cukup bukti, dalam arti tidak dapat ditemukan alat-alat bukti sah yang cukup. Artinya alat-alat bukti seperti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, tidak terpenuhi ataupun alat-alat bukti minimum dari tindak pidana tersebut tidak dapat dijumpai, diketemukan dan tidak tercapai.
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, artinya bahwa dimana penyidik berpendapat, peristiwa yang semula dianggap sebagai tindak pidana namun kemudian secara nyata bahwa peristiwa itu bukanlah suatu tindak pidana, maka kemudian penyidik menghentikan penyidikan atas peristiwa tersebut.
3. Penyidikan dihentikan demi hukum karena berdasarkan undang-undang memang tidak dapat dilanjutkan peristiwa hukum tersebut, misalnya dalam hal ini antara lain tersangka meninggal dunia, terdakwa sakit jiwa, peristiwa tersebut telah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap,serta karena peristiwa hukum tersebut telah kadaluasa.
Berbicara mengenai subjek hukum, yang termasuk dalam subjek hukum praperadilan adalah setiap orang yang dirugikan. Untuk sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya yaitu untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horisontal.
Adapun subjek hukum yang dimaksud diatas adalah sebagai berikut :
1. Yang berhak mengajukan upaya praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya upaya paksa, tuntutan ganti kerugian, dan permintaan rehabilitasi adalah
a. Tersangka
b. Keluarga tersangka
c. Ahli waris tersangka
d. Kuasa hukum tersangka
e. Pihak ketiga yang berkepentingan
2. Yang berhak mengajukan upaya gugatan pra peradilan untuk sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah
a. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
b. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
3. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan adalah
a. Saksi korban tindak pidana
b. Pelapor
c. Organisasi non pemerintah dan LSM, yang mana ini dimaksudkan untuk memberi hak kepada kepentingan umum terkait tindak pidana korupsi, lingkungan, dll. Untuk itu sangat layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili organisasi non pemerintah dan LSM.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, dan seperti yang tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 10 KUHAP bahwa “praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan” dan yang paling penting yang perlu diperhatikan mengenai proses praperadilan adalah pada saat proses pemeriksaan praperadilan dipimpin oleh seorang hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh Panitera. Pemeriksaan perkara praperadilan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
Apabila diperinci maka wewenang hakim dalam praperadilan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan
2. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penahanan
3. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghhentian penyidikan
4. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya penghentian auatu penuntutan
Lebih dari itu hakim praperadilan mempunyai wewnang untuk :
5. Menetapkan ganti rugi dan atau rehabilitasi terhadap mereka yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
DAFTAR PUSTAKA
Loqman, Loeby.1987, Praperadilan Di Indonesia, Galia Indonesia , Jakarta
…………, 1984, Kekuasaan kehakiman dan wewenang untuk mengadili. Galia Indonesia. Jakarta
Kaligis, O.C, SH. 1983. Praperadilan Dalam Praktek, Erlangga, Jakarta.
Nasution, Adnan Buyung. 1981. Bantuan Hukum di Indonesia. L.P.3 E.S, Jakarta
………….., Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana

Minggu, 19 Desember 2010

PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK ANAK

A. PENDAHULUAN
Berbicara tentang anak tentu saja tidak akan lepas dari pembahasan tentang batas usia untuk disebut
seorang anak. Menyangkut batas usia anak ini penting untuk diketahui bilamana seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau diancam dengan pidana. Mengenai batas umur dan istilah seorang
anak masih ada ketidak-seragaman pendapat baik dari beberapa pakar maupun peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Menurut pengertian umum anak merupakan keturunan atau manusia yang masih kecil yang dilahirkan
karena hubungan biologis antara laki-laki dengan perempuan.
Dari berbagai peratururan perundang-undangan baik tertulis maupun tidak dapat juga diamati pengertian
seorang anak. Menurut Hukum Adat, anak adalah seorang yang belum cukup umur/usianya masih muda dan belum
dapat mengurusi kepentingan dirinya sendiri. Anak menurut KUH Perdata dan UU No.4/1979 tentang Kesejahteraan
Anak adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. UU N0. 1/1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa perkawinan diizinkan apabila pria telah berumur 19 tahun dan wanita telah mencapai 16 tahun.
Undang-undang ini memberi arti bahwa pria dan wanita yang telah mencapai umur sebagaiman di atas tidak
termasuk lagi anak. Di dalam Hukum Humaniter Internasional (Hukum Perang) anak yang berumur 15 tahun
dibolehkan menjadi anggota angkatan bersenjata dengan ketentuan hanya diperbantukan di markas dan setelah
berumur 18 tahun baru dapat ikut ke medan tempur Pasal 77 ayat (2) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (Riza
Nizarli, 1995:41).
Dalam Pasal 1 Konvensi Hak Anak (KHA) anak didefinisikan sebagai “manusia yang berusia di bawah 18
tahun kecuali berdasarkan undang-udang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
Dengan demikian Pasal ini mengakui bahwa batas usia kedewasaan dalam aturan hukum sebuah negara mungkin
berbeda dengan KHA. Akan tetapi bila kasus semacam ini terjadi, KHA menekankan agar Negara yang meratifikasi
KHA menyelaraskan aturan-aturan hukumnya dengan KHA.
Perlu dikemukakan bahwa dengan adanya perbedaan antara orang dewasa dengan anak dalam hukum
tentunya mempunyai pertimbangan bahwa baik jasmani maupun rohani akan berbeda. Pada umumnya diketahui
bahwa dalam pertumbuhannya anak masih labil, sehingga anak selalu digambarkan sebagai fase yang sangat
penting dalam proses pertumbuhan fisik dan jiwanya, karena fase ini akan berpengaruh pada masa depan saat
mereka dewasa. Masa anak membutuhkan kasih sayang yang utuh, bimbingan, perlindungan dari orang tuanya, hal
ini sesuai dengan ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM). Apabila orang tua anak sudah tidak ada dan tidak mampu
untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka pihak lain karena kehendak sendiri atau karena
ketentuan hukum diserahi kewajiban tersebut dan bila tidak ada pihak lain maka menjadi tanggung jawab negara.
Dalam kenyataannya di masyarakat dapat disaksikan bahwa sangat banyak peristiwa yang menimpa anakanak
sehingga merenggut masa kecilnya dan bahkan masa depannya. Hal ini dapat dilihat di kota-kota besar
dengan adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis, pengamen jalanan, pekerja anak,
pekerja seks komersial, diperdagangkan dan sebagainya(Mokh. Najih, 2003:263).
Dalam berbagai kasus, anak yang diperdagangkan seringkali mereka dipekerjakan di sektor yang
berbahaya, pekerjaan terlarang, dijadikan kurir narkoba, untuk kerja paksa, dijadikan pembantu rumah tangga,
dijadikan korban ekploitasi seksual dalam pornografi, prostitusi dan tidak jarang anak diperdagangkan untuk
kepentingan adopsi atau dimanfaatkan organ tubuhnya untuk kepentingan adopsi atau dimanfaatkan organ tubuhnya
untuk kepentingan medis bagi transplantasi untuk orang-orang kaya yang membutuhkan (Bagong Suyanto, Mei
2003).
Anak sebenarnya merupakan harta yang tak ternilai harganya baik dilihat dari perspektif sosial, budaya,
ekonomi, politik, hukum maupun perspektif keberlanjutan sebuah generasi keluarga, suku dan bangsa. Dilihat dari
1 Disampaikan pada Acara Penjaringan Aspirasi Publik dalam Rangka Pembuata Qanun Perlindungan Anak, Kerjasama Biro PP, Unicef dan
Plan International, Jantho, 26 Maret 2007.
2 Dosen Faklutas Hukum Unsyiah/Unmuha, Staf Kajian Hukum Humaniter&HAM Fak.Hukum Unsyiah, dan Ketua Bidang Advokasi Lembaga
Perlindungan Anak Prov. NAD.
2
sosial sebagai kehormatan harkat martabat keluarga tergantung pada sikap dan perilaku anak untuk berprestasi,
dari budaya anak merupakan harta dan kekayaan yang harus dijaga dan sekaligus merupakan lambang kesuburan
sebuah keluarga, dari politik anak merupak penerus suku, bangsa, dari ekonomi ada anggapan bahwa banyak anak
banyak rejeki dan dari segi hukum, anak mempunyai posisi dan kedudukan strategis di depan hukum, tidak saja
sebagai penerus dan ahli waris keluarga tetapi juga sebagai bagian dari subyek hukum dengan segala hak dan
kewajiban yang mendapat jaminan hukum. Idealnya, dunia anak adalah dunia sorga, sebuah tempat di mana anak
menikmati hari-harinya dengan penuh kegairahan, keceriaan bermain dan bersekolah (Fifik Wiryani, 2003:288).
Berkaitan dengan perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) hak-hak asasi anak kembali
menjadi perhatian yang selama ini belum mendapat perhatian serius mengingat masih banyaknya kasus-kasus yang
menimpa anak Indonesia. Dalam laporan Deplu AS 12 Juni 2001 mengenai trafficking in person, bersama 22
negara lainnya Indonesia termasuk negara yang menjadi sumber trafficking, baik untuk kepentingan dalam negeri
maupun manca Negara (Kompas, 22 September 2001). Trafficking terhadap anak akhir-akhir ini muncul menjadi
suatu isu regional maupun global dan di Aceh sendiri menjadi isu yang sangat ramai dibicarakan berkaitan dengan
pemberitaan media masa tentang 300 anak korban Tsunami yang telah dikeluarkan dari Proinsi NAD. Timbull
pertanya jika pemeberitaan itu dapatkah dikatakan hal tersebut sebagai trafficking?
Konsep dasar trafficking adalah pemindahan anak dari seseorang ke orang lain untuk tmemperoleh
keuntungan uang atau keuntungan lainnya. Trafficking anak berbeda dengan perdagangan anak, perdagangan anak
adalah sebuah transaksi penjualan dan pemebelian dengan harga yang telah disepakati, sedangkan trafficking
merupakan paksaan, penipuan, ancaman kekerasan serta penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi.
Ada kekhawatiran bahwa para pelaku trafficking telah memfokoskan perhatiannya pada anak-anak yatim piatu
selamat dari bencana tsunami.
Sebelum kasus gempa dan tsunami saja program pengentasan anak jalanan atau anak kurang beruntung
hanya menghamburkan dana dan tidak efektif. Maka tidak mengherankan bila ada LSM Anak di Indonesia terkesan
memanfaatkan anak sebagai komoditi penghasilan bantuan dana dari luar negeri. Anak-anak korban tsunami ini
benar-benar harus dicermati agar tidka terjadi kasus trafficking untuk dijadikan pekerja seks, dilibatkan dalan jaringan
narkoba dan diadopsi oleh keluarga/LSM yang bermuara pada proyek de-Islamisasi. Pemerintah memperkirakan
35.000 anak yang jadi yatim piatu dan telah melarang memindahkan anak-anak Aceh dari daerah asalnya tanpa
didampingi oleh orang tuanya dalam usaha menghindari trafficking anak.
Ada 3 (tiga) modus yang dapat dilakukan komplotan trafficking anak yaitu;
1. mengaku dari sesbuah yayasan yang dapat mengasuh anak yatim piatu dari daerah bencara,
2. mengaku keluarga terdekan,
3. mengaku orang yang akan mengadopsi.
Dari laporan media masa indentifikasi yang dilakukan oleh beberapa pihak antara lain dipastikan bahwa
trafficking juga merupakan problem di Indonesia. Fakta menunjukkan terjadinya peneingkatan anak-anak direkrut
dan dijual oleh jaringan yang terorganisir dalam berbagai bentuk seperti; pelacuran dan pornografi, pengemis,
pembantu rumah tangga, penjualan obat terlarang serta pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan. Berbagai hasil
studi mengungkapkan bahwa orang-orang dekat seperti orang tua, saudara, guru maupun tetangga merupakan
orang-orang yang melakukan trafficking. Faktor kemiskinan mempunyai kontribusi besar, tetapi sejumlah faktor lain
sangat kompleks juga mendorong terjadinya trafficking.
Faktor-faktor tersebut antara lain;
1. rendahnya kesadaran akan persoalan trafficking,
2. lemahnya penegakan hukum terhadap traffiker,
3 lemahnya pemahaman keluarga dan masyarakat tentang tanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi
anak,
4. sistem informasi yang lemah dan
5. ketidak setaraan jender.
3
Menurut laporan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) dan Jaringan Penanggulangan
Anak Indonesia (JARAK), khusus untuk Propinsi Jawa Timur, daerah yang rawan dan potensi terjadinya women and
child trafficking adalah Bayuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Aparat Kepolisian Surabaya pada
bulan Juli 2002 berhasil mengungkapkan praktek perdagangan anak perempuan yang dipaksakan bekerja di sektor
prostitusi (Kompas 27 Juli 2002) dan di Lampung lebih memprihatinkan lagi, bahwa trafficking anak perempuan
dilakukan oleh orang tua kandungnnya sendiri karena ekonomi. Kasus perdagangan anak yang lebih tragis pernah
juga terjadi di Lampung dan di Kalimatan Barat, anak-anak diperdagangkan untuk diadopsi; yakni menghilangkan
identitas keturunan dan keluarga anak yang bersangkutan.
Dalam seminar tentang “Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Anak di Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam” yang diadakan di Jakarta pada tanggal 28 Juni 2004 Dirjen Perlindungan HAM Hafid Abbas
mengatakan; 11 juta anak meninggal setiap tahun sebelum memperigati ulang tahun ke 5, 14 juta anak tidak
memiliki orang tua karena mengindap penyakit AID (tahun 2007 mencapai 20 juta di kawasan Asia Pasifik), 2 juta
anak yang hidup di daerah kancah politik/transisi menghadapi dampak langsung, 3 juta mengalami cacat seumur
hidup, 4 juta anak hidup di pengasingan, 246 juta anak di dunia mengalami kekerasan dan 2 juta anak
diperdagangkan setiap tahun.
Di Aceh sendiri akibat konflik yang berkepanjangan ini telah menyebabakan 58.127 anak jadi yatim,52.292
anak terlantar dan 61.056 balita kurang gizi (Sakorlak, Maret 2003). Menurut Dinas Sosial Prov. NAD 70.194 anak
terlantar dan tidak dapat lagi menikmati akses pendidikan formal karena sejumlah gedung sekolah dibakar selama
terjadinya konflik. Sebanyak 15.000 anak usia sekolah dasar terpaksa berhenti sekolah dan 55.000 anak tidak
mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (Azwar Abubakar, 2004:3). Dalam situasi konflik anak-anak Aceh
mungkin saja mereka akan terbunuh dan terluka karena pelibatan anak sebagai petempur (combatant), korban
salah sasaran, akibat serangan yang membabi buta, pembunuhan di luar proses hukum, mengalami kekerasan fisik,
mental, penelantaran dan pengabaian, kekerasan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan anak dan sebagainya.
Apa yang diuraikan tersebut adalah sebagian kecil dari fenomena viktimasi anak yang perlu mendapatkan
perlindungan dari aspek hukum. Dalam kaitannya itu maka menarik untuk melakukan kajian yang lebih khusus
kaitannya tentang aspek-aspek perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia.
B. PERKEMBANGAN HAK ASASI ANAK INTERNASIONAL
Anak merupakan amanah dan karunia Tuan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya, sehingga ia memiliki hak asasi manusia yang melekat dan hak-hak yang
sama dan tidak terpisahkan dari semua anggota manusia.
Dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan, perlindungan khusus
serta perlindungan hukum sebelum maupun sesudah lahir. Di samping itu, juga patut diakui bahwa keluarga
merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Untuk perkembangan kepribadiannya
maka membutuhkan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang.
Walaupun ada seperangkat peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi kualitas
permasalahannya dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas menuju bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral, sosial dan intelektual
anak. Jenis pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, anak yang
diperdagangkan, anak bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Kasus-kasus eksploitasi hak-hak anak yang terabaikan selama melakukan pekerjaan mereka, justru sering
kali terjadi dan dilakukan oleh orang dekat si anak. Misalnya pekerjaan anak dalam dunia hiburan maupun sebagai
penyanyi.
Kekerasan seksual terhadap anak selama beberapa tahun ini meningkat dengan tajam dan kondisi ini
hampir setiap hari diberitaka, baik lewat berita media. Kondisi ini menggambarkan bahwa persoalaan perlindungan
hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk tindakan kekerasan yang mengancam masa depannya
masih belum dapat terlaksana dengan baik.
Masalah lain, adalah mengenai media hiburan dan iklan untuk anak-anak. Komnas Perlindungan anak
mencatat bahwa dari seluruh televisi di Indonesia baik swasta maupun milik pemerintah telah mengeksploitasi anak
sebagai obyek komersial, baik dalam bentukk iklan, hiburan yang disajikan.anak tidak lagi memiliki kebebasan untuk
4
bermain, berkreasi secara sehat, anak-anak dipasung oleh film atau cerita yang tidak bermutu, banyak cerita
perkelahian atau perang.
Data lainnya menunjukkan bahwa, eksploitasi anak tidak hanya di sektor industri dan pekerjaan. Sejak lahir
hak dan kesejahteraan anak sudah dieksploitasi. Untuk memperoleh hak paling awal, yakni hak untuk diakui
identitasnya melalui akta kelahiran, ternyata tidak semua anak bias mendapatkannya. Hal ini terjadi karena selain
biayanya terlalu mahal, birokrasi pengurusannya juga berbeli-belit. Menurut data Komnas Perlindungan Anak, hampir
75 % anak-anak diseluruh Indonesia belum memiliki akte kelahiran. Berdasarkan catatan UNICEF, Indonesia
menempati urutan ke 109 dari 119 negara di dunia dalam hal pengembangan SDM, cukup ironis jika dibandingkan
dengan Vietnam dan Srilangka, ternyata Indonesia cukup tertinggal (Mokh. Najih, 2003:284).
Berkaitan dengan dengan pelaksanaan perlindungan hak anak, pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa kegiatan baik dalam bentuk merumuskan kegiatan maupun legislasi peratuan perundang-undangan.
Dalam legislasi undang-undang secara nyata pemerintan Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk
memberikan jaminan hukum bagi perlindungan anak di Indonesia. Namun secara empiris Implementasi undangundang
belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Indonesia sebagai negara PBB yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) pada bulan Agustus 1990, berdasarkan Keputusan Presiden No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Sesuai
ketentuan Pasal 49 ayat (2), maka Konvensi Hak Anak dinyatakan berlaku di Indonesia sejak 5 Oktober 1990.
Dengan demikian Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk semaksimal mungkin harus berupaya memenuhi hakhak
anak dan bila perlu mengadakan kerja sama bilateral atau multilateral sebagaimana dinyatakan oleh konvensi.
Namun dalam kenyataannya, kondisi anak di Indonesia masih memperhatikan dan menjadi korban dari
berbagai bentuk tindakan kekerasan, eskploitasi, diskriminasi, bahkan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi
terhadap anak, tanpa ia dapat melindungi dirinya, dan tanpa perlindungan yang memadai dari keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Oleh karena itu, pemajuan dan perlindungan yang berpihak pada anak dan memegang tegak
prinsip non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak serta partisipasi anak dalam setiap hal yang
menyangkut dirinya merupakan prasyarat yang mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif.
Konvensi Hak Anak adalah salah satu instrumen internasional di bidang hak asasi manusia yang secara
khusus mengatur segala sesuatu tentang hak anak. Konvensi ini diadopsi (disetujui) oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Resolusi 44/25 tertanggal 20 November 1989 (Lembar Fakta HAM, 2000:121) dan
sesuai ketentuan Pasal 49 ayat (1), mulai berlaku pada 2 September 1990. Dalam kurun waktu kurang dari satu
tahun, pada September 1990 telah ada 20 negara yang secara sah telah menandatangani dan memberlakukan
Konvensi ini, setidaknya hingga Desember 1996, tercatat 187 negara telah meratifikasi.
Konvensi Hak Anak merupakan hasil kompromi dari berbagai sistem hukum dan falsafah berbagai negara.
Kompromi dilakukan karena tiap negara memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda mengenai anak. Meski
demikian, Konvensi tetap berpegang teguh pada standar dan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Anak dalam
Konvensi ini adalah pemegang hak-hak dasar dan kebebasan sekaligus sebagai pihak yang menerima perlindungan
khusus. Selain itu, ini pertama kali dalam sejarah PBB, Konvensi yang mencakup sekaligus mengacu pada
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1996, terutama Pasal 23 dan 24, dan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, terutama Pasal 10. Karena itulah, Konvensi ini paling komprehensif
dibandingkan dengan konvensi-konvensi lainnya.
Selain paling komprehensif, Konvensi Hak Anak juga patut diketahui bahwa; pertama, implementasi
Konvensi dimungkinkan untuk fleksibel dan inovatif. Pasal 42 Konvensi, misalnya, menyatakan bahwa: “Negaranegara
Peserta berusaha untuk membuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan Konvensi diketahui secara luas,
dengan cara yang tepat dan aktif, baik kepada orang dewasa dan anak-anak. “Dengan kata lain, setiap negara yang
meratifikasi Konvensi dituntut secara aktif dan kreatif mampu mensosialisikan Konvensi kepada masyarakat luas,
termasuk elit pembuat keputusan dan anak-anak sendiri.
Kedua, Konvensi menekakan arti penting kerjasama internasional dan mengimplementasikan pasal-pasal
yang ada. Paragraf ke-13 Mukadimah Konvensi menyatakan: “Mengakui pentingnya kerja sama internasional untuk
meningkatkan kondisi kehidupan anak di setiap negara, khususnya di negara berkembang.”
Konvensi Hak Anak lahir dari suatu kesadaran bahwa anak, sesuai kondratnya, adalah rentan, tergantung,
lugu, dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Karena itulah, anak memerlukan perawatan dan perlindungan
yang khusus pula agar mereka bisa berkembang secara penuh, baik fisik maupun mental, dalam lingkungan
5
keluarga yang harmonis, penuh cinta kasih, dan pengertian. Tujuan akhirnya adalah agar anak, sebagai individu,
bisa memainkan peranan yang konstruktif dalam masyarakat. Paragraf ke-7 Mukadimah Konvensi menyatakan:
“…anak harus sepenuhnya dipersiapkan untuk menjalani kehidupan sebagai pribadi dalam masyarakat …”.
Selain itu, muncul pula kesadaran bahwa masih terdapat jutaan anak yang berada dalam kondisi yang tidak
beruntung. Bahkan, lebih dari itu, “…tak satu negara pun mampu melindungi hak-hak anak atau memberi mereka
standar yang layak dalam kesehatan, pendidikan, pengasuhan, gizi, tempat berteduh, atau perlindungan agar anak
terbebas dari tindakan kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi. “Pernyataan ini sangat beralasan. Ketika Konvensi
mulai berlaku pada 1990, Pusat Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, menyatakan bahwa 100
juta anak di dunia terpaksa bekerja berat, terlibat dalam berbagai kejahatan ringan, pelacuran, atau mengemis untuk
menyambung hidup: 50 juta anak bekerja di tempat-tempat yang tidak aman dan tidak sehat; 120 juta anak usia 6-
11 tahun tidak bersekolah: 3,5 anak tiap tahun meninggal karena penyakit: 155 juta anak di bawah usia lima tahun
hidup dalam kemiskinan absolut; dan jutaan anak, termasuk di negara makmur, dianiaya atau ditelantarkan,
dieskploitasi secara seksual, dan menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Memasuki abad ke-21 ini, Unicef (United Nations Children’s Fund), dalam laporannya mengenai keadaan
anak-anak di dunia tahun 2000, memperkirakan: 130 juta anak usia sekolah di negara berkembang tidak memilki
akses terhadap pendidikan dasar, 250 juta anak di negara berkembang bekerja dalam lingkungan yang berbahaya
dan eksploitatif, dan sekitar 250 juta anak di dunia hidup dalam situasi yang berbahaya dan genting.
Komite Hak Anak PBB merumuskan ada empat prinsip umum Konvensi Hak Anak yang perlu diperhatikan
yaitu:
Non diskriminasi. Prinsip ini menegaskan bahwa hak-hak anak yang termaktub dalam Konvensi harus
diberlakukan sama kepada setiap anak tanpa memandang perbedaan apa pun. Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
“Negara-negara Peserta (States Parties) akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi
ini terhadap setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun tanpa memandang
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta
kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut
hukum”.
Pasal 2 ayat (2) menyatakan: ”Negara-negara Peserta akan mengambil langkah-langkah yang perlu kita
menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,
kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota
kelurganya.”
Tindakan terbaik bagi anak ( the best interest of the child). Pasal 3 ayat (1) menyatakan: “Dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun
swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama.”
Pasal-Pasal lain yang terkait erat dengan prinsip itu adalah: Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) mengenai
pemisahan anak dari orang tuanya; Pasal 18 mengenai tanggung jawab orang tua Pasal 20 mengenai anak yang
kehilangan lingkungan keluarganya, baik secara tetap maupun sementara; Pasal 21 mengenai adopsi; Pasal 37 (c)
mengenai pembatasan atas kebebasan; Pasal 40 (2) (b) (iii) mengenai jaminan terhadap anak yang dituduh
melanggar hukum pidana.
Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak. Komite Hak Anak melihat kelangsungan
hidup dan perkembangan anak merupakan konsep yang holistik, karena sebagai besar isi Konvensi berangkat dari
masalah perkembangan dan kelangsungan hidup anak Pasal 6 ayat (1) menyatakan: “Negara-negara peserta
mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life). Sementara itu, ayat
(2) menyatakan: “Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsung hidup dan
perkembangan anak (survival and development of the child).
Menyangkut prinsip perkembang anak, yang perlu diperhatikan adalah: perkembangan fisik (Pasal 27
paragraf 3, Pasal 26); perkembangan mental, terutama menyangkut pendidikan (Pasal 28, dan 29), termasuk
pendidikan bagi anak-anak cacat (Pasal 23); perkembangan moral dan spriritual (Pasal 14); perkembangan sosial,
6
terutama menyangkut hak untuk memperoleh informasi, menyatakan pendapat, dan berserikat (Pasal 12, 13, 17);
perkembangan secara budaya (Pasal 30 dan 31).
Menghargai pandangan anak. Pasal 12 ayat (1) menyatakan: “Negara-negara Peserta akan menjamin
bahwa anak-anak yang memiliki pendapat sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pendapat mereka
secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pendapat tersebut akan dihargai sesuai dengan usia
dan kemantangan anak”.
Komite Hak Anak menyatakan bahwa Pasal ini merupakan prinsip fundamental yang berhubungan dengan
seluruh aspek pelaksanaan dan interpretasi atas Pasal-Pasal lain dari Konvensi. Dengan kata lain, setiap pendapat
anak perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan anak (Candra Gautama, 2000:22).
Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak anak wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam
konvensi. Tujuan utama dari implementasi adalah untuk meningkatkan kondisi kehidupan anak di Negara
bersangkutan. Namun bila suatu Negara yang mereservasi (pernyataan keberatan suatu Negara untuk terikat
dengan salah satu atau beberapa ketentuan yang terdapat dalam sebuah konvensi) salah satu atau beberapa Pasal
yang ada, maka Negara tersebut berhak untuk tidak terikat dengan Pasal itu.
Secara potensial Konvensi Hak Anak memberikan dasar bagi suatu kebijakan bersama di mana dapat
dicapai dan ditingkatkan kerja sama antar berbagai organisasi internasional dalam peningkatan kesejahteraan anak.
Komite Anak mengakui, bahwa di semua negara di dunia ada anak-anak yang hidup dalam keadaan sulit
dan membutuhkan perhatian khusus untuk perlindungan anak yang serasi, perlu memperhatikan nilai-nilai tradisi dan
budaya dari setiap bangsa. Oleh karena itu penting dilakukan kerja sama internasional untuk meningkatkan kondisi
kehidupan anak di setiap negara, khususnya negara-negara berkembang.
Konvensi Hak Anak terdiri dari; Mukaddimah dan Batang Tubuh yang terdiri dari 54 Pasal. Saat Indonesia
meratifikasi dengan Keppres No.36/1990 disertai dengan reservasi terhadap 7 Pasal yaitu:
Pasal 1 tentang batas usia di bawah 18 tahun,
Pasal 14 tentang jaminan atas kebebasan berfikir, berhati nurani, dan beragama,
Pasal 16 tentang perlindungan atas kehidupan pribadi,
Pasal 17 tentang hak memperoleh informasi,
Pasal 21 tentang pengangkatan anak (adopsi)
Pasal 22 tentang perlindungan anak sebagai pengungsi, dan
Pasal 29 tentangt arah/tujuan hak anak atas pendidikan.
Konvensi Hak Anak dapat dibagi dalam 3 kelompok untuk memudahkan pemahamannya yaitu : Hak Sipil
dan Kebebasan, Lingkungan Keluarga dan Perlindunhan Khusus.
a. Hak Sipil dan Kebebasan. Mengenai Hak Sipil dan Kebebasan dapat kita lihat dalam 8 Pasal yaitu:
1) Pasal 7 , Hak memperoleh identitas (akte Kelahiran)
2) Pasal 8, Hak untuk mempertahankan identitas,
3) Pasal 13, Hak untuk bebas berekspresi (berpendapat).
4) Pasal 14, Hak untuk bebas berpikir, beragama, dan berhati nurani.
5) Pasal 15, Hak untuk berserikat (berorganisasi)
6) Pasal 16, Hak untuk mendapatkan perlindungan atas kehidupan pribadi.
7) Pasal 17, Hak untuk memperoleh informasi secara layak.
8) Pasal 37 huruf a, Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penganiayaan dan perenggutan atas kebebasan.
b. Lingkungan Keluarga
1) Pasal 7, Hak untuk Diberikan Nama dan Kewarganegaraan.
2) Pasal 9, Hak untuk tidak Berpisahkan dari Orang Tua,
3) Pasal 10, 20 dan 25, Hak untuk untuk Penyatuan Kembali dengan Keluarga.
4) Pasal 11, Hak untuk Penyerahan Anak Secara Tidak Sah dan Tidak Pulang Kembali
5) Pasal 18, Hak Tanggung Jawab Keluarga
6) Pasal 19, Perlindungan dari Kekerasan.
7) Pasal 21, Hak untuk Pengangkatan Anak (Adopsi)
8) Pasal 27 , Hak untuk mendapatkan Pembayaran Biaya Hidup Anak
7
c. Perlindungan Khusus
1) Anak Dalam Keadaan Darurat
a) Pasal 9, Pengungsi Anak
b) Pasal 28, Anak Yang Terlibat Dalam Konflik Bersenjata
2) Anak Terlibat Konflik Hukum
a) Pasal 40, Hak mengakui anak yang disangka melanggar hukum diperlakukan sesuai martabat dan nilainilai
anak
b) Pasal 37, Hak Anak untuk tidak boleh disiksa, dirampas kemerdekaannya
c) Pasal 39, Hak untuk Pemulihan Jasmani, Rohani dan Rehabilitasi Sosial terhadap Korban
3) Anak dalam Situasi Eksploitasi
a) Pasal 32, Hak untuk dilindungi dari Eksploitasi ekonomi/pekerjaan
b) Pasal 33, Hak untuk melindungi anak dari pemakaian Narkoba
c) Pasal 34, Hak untuk Melindungi Anak dari Eksploitasi seksual dan Penyalahgunaan Seksual
d) Pasal 35, Hak untuk mencegah Penculikan, penjualan dan perdagangan
e) Pasal 36, Hak untuk Melindungi Anak dari Berbagai Jenis eksploitasi.
d. Perlindungan dari Kelompok Minoritas (Pasal 30).
Adanya reservasi terhadap beberapa ketentuan telah menggambarakann bahwa Indonesia belum
sepenuhnya mengikuti konvensi tersebut, sehingga Itidak terikat secara utuh dan akibatnya Indonesia dapat
melepaskan diri dari tanggungjawab mengenai perlindungan hak anak, meskipun telah meratifikasi konvensi
Internasional.
Namun demikian dalam politik hukumnya, Indonesia telah menunjukkan itikat baiknya dengan telah
mengundang beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait, seperti UUD 1945, UU No. 12/1995 tentang
Pemasyarakatan, UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 39/1999 HAM, UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak dan UU No. 13/2003 tentang Keternagakerjaan dan lain-lain.
C. PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL
Dari telaahan beberapa peraturan perundang-undangan, ternyata Indonesia telah memiliki beberapa
peraturan perundang-udangan yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak yaitu:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen.
Pengaturan perlindungan hak anak dalam konstitusi atau hukum dasar yaitu UUD 1945 pasca amandemen
menunjukkan kemajuan, karena semua prinsip pengakuan HAM diadopsi ke dalam hasil amandemen tersebut.
Kemajuan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan konvensi Internasional
untuk memberikan jaminan konstitusional bagi pelaksanaan dan pengakuan HAM, termasuk di dalamnya adalah
hak asasi anak yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu:
a. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28 D “ persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan terhadap
segenap penduduk tanpa kecuali (Pengakuan non-diskriminasi Pasal 2 KHA)
b. Pasal 28 jo Pasal 28 E ayat (2) dan (3) “kemerdekaan segenap penduduk untuk berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pendapat/pikiran (Pasal 13 KHA)
c. Pasal 28 B ayat (2) “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
d. Pasal 29 ayat (3) jo Pasal 28 E ayat (1) “Kemerdekaan beragama dan menganut kepercayaan (Pasal 14
KHA).
e. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 30 ayat (1) “setiap warga Negara berhak dan berkewajiban ikut serta dalam
usaha pembelaan Negara. Dalam Pasal 38 KHA disebutkan bahwa anak di bawah 15 tahun tidak boleh
secara langsung ikut serta dalam perang atau dimasukkan dalam angkatan bersenjata.
8
f. Pasal 31 jo. Pasal 28 C “setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh
manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 28 KHA).
g. Pasal 34 “ fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara, hak jaminan sosial, fasilitas pelayanan
umum. (Pasal 20 KHA).
2. UU No. 39/1999 tentang HAM
Dalam penjelasan umum UU HAM disebutkan bahwa, pengaturan mengenai HAM ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi HAM Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita, Konvensi tentang Hak Anak dan berbagai instrument internasional lainnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa UU HAM sesungguhnya telah mengadopsi secara penuh berbagai konvensi internasional
mengenai perlindungan HAM, termasuk didalamnya Konvensi Hak Anak (KHA). Adapun secara rinci pengaturan
mengenai hak anak dalam UU HAM dapat dilihat berikut ini.
a. Pasal 52, “ hak atas perlindungan oleh orang tua dan masyarakat.
b. Pasal 53, “hak hidup dan mempertahankan kehidupan yang layak.
c. Pasal 54, “hak perawatan dan perlakuan yang wajar/khusus bagi anak cacat fisik/mental.
d. Pasal 55, “hak beribadah menurut keyakinan agamanya.
e. Pasal 56, “hak pemeliharaan atau pengasuhan oleh orang tua atau wali.
f. Pasal 57, “hak pemeliharaan, pengasuhan, arahan, bimbingan oleh orang tua atau wali.
g. Pasal 58, “hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari tindakan yang merugikan.
h. Pasal 59, “hak untuk tidak dipisahkan dengan orang tua atau keluarganya.
i. Pasal 60, “hak atas pendidikan dan pengembangan kepribadiannya, termasuk hak informasi sesuai
kebutuhannya.
j. Pasal 61, “Hak berkreasi, bermain, bergaul sesuai dengan minat bakatnya.
k. Pasal 62, “hak pelayanan kesehatan dan jaminan social.
l. Pasal 63, “hak tidak terlibat dalam perang atau sengketa bersenjata/kerusuhan sosial.
m. Pasal 64, “hak utnuk dilindungi dari bentuk-bentuk eksploitasi ekonomi.
n. Pasal 65, “hak untuk dilindungi dari eksploitasi fisik, seksual dan obat terlarang.
o. Pasal 66, “hak diperlakukan secara baik/dilindungi haknya dalam proses hukum pidana.
Dari uraian di atas UU HAM telah memberikan jaminan hukum terhadap perlindungan Hak anak, sebagai
bagian dari perlindungan HAM Indonesia, sehingga berbagai peraturan hukum dan tindakan aparat Negara
yang berkenaan dengan hak anak harus mengacu pada UU HAM tersebut.
3. UU N0. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam UU HAM telah diatur tentang hak anak, pelaksanaan dan tanggungjawab orang tua, keluarga,
masyarakat , demikian juga kewajiban pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak
namun masih tetap diperlukan peraturan perundang-undangaan khususnya sebagai landasan hukum bagi
pelaksanaan hak anak tersebut. Atas dasar pemikiran tersebut, maka disajkanlah UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak. Adapun butir-butir perlindungan anak dalam undang-undang tersebut dapat dilihat berikut
ini:
a. Pasal 1 ayat (1),”anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan.
b. Pasal 4, “setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Pasal 5, “setiap anak berhak atas sesuatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
d. Pasal 6, “setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan
kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.
e. Pasal 7 ayat (1), “setiap anak berhak mengetahui orang tua, dibesarkan, diasuh orang tua.
f. Pasal 7 ayat (2), “anak terlantar berhak diasuh/diangkat oleh orang lain.
g. Pasal 8, “setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental spiritual dan social.
9
h. Pasal 9 ayat (1), “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
perkembangan pribadi dan kecerdasan sesuai dengan minat bakatnya.
i. Pasal 9 ayat (2), “ anak cacat berhak memperoleh pendidikan luar biasa sedang anak yang memiliki
keunggulan berhak mendapat pendidikan khusus.
j. Pasal 10, “setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya…
k. Pasal 11, “berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul, bermain, berkreasi...
l. Pasal 12, “anak cacat berhak mendapat rehabilitasi, bantuan social…
m. Pasal 13, “anak dalam pengasuhan orang tua/wali/pihak lain berhak mendapat perlindungan…
n. Pasal 14, :anak yberha diasuh orang tua sendiri kecuali ada alasan demi kepentingan anak.
o. Pasal 15, “berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan politik, sengketa senjata dll.
p. Pasal 16, “berhak merperoleh perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan …
q. Pasal 17, “ anak yang dirampas kebebasan berhak mendapat perlakuan yang manusia…
r. Pasal 18, “berhak mendapat bantuan hukum…
s. Pasal 20, “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua wajib dan bertanggung jawab terhadap
perlindungan anak.
Dari pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa pasal lainnya yang mengatur
tentang hak anak. Namun dari pasal-pasal di atas, bahwa implementasi dalam politik kebijakan perlindungan
hak anak telah mendapatkan dasar hukum yang semakin kuat karena secara lebih rinci hak-hak anak dan
kewajiban-kewajiban melaksanakan telah diatur sedemikian rupa dalam UU Perlindungan Anak tersebut,
termasuk ketentuan-ketentuan pidananya.
4. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam kaitannya dengan masalah hukum ketenagakerjaan, implementasi hak anak dapat ditemukan
dalam berbagai undang-undang, diantaranya di dalam UU No.13/1999 yaitu:
a. Pasal 68, “pengusaha dilarang memperkerjakan anak.
b. Pasal 69 ayat (1), “kecuali anak yang berumur 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan dan tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, social.
c. Pasal 69 ayat (2), “Pengusaha yang memperkerjakan anak dalam pekerjaan ringan harus memenuhi syarat;
ada izin tertulis dari orang tua/wali, perjanjian kontrak anatar pengusaha dengan orang tua/wali, waktu kerja
maksimum 3 jam, pada siang hari dan tidak terganggu waktu sekola, menerima upah sesuai ketentuan,
d. Pasal 69 ayat (3), “kecuali anak yang bekerja pada usaha keluarga.
e. Pasal 70 ayat (1), “anak dapat melakukan kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan/pelatihan yang sah.
f. Pasal 70 ayat (2), “anak tersebut paling sedikit berumur 14 tahun.
g. Pasal 70 ayat (3), “syaratnya; diberi petunjuk jelas tentang caranya, bimbingan, pengawasan; diberi
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
h. Pasal 71 ayat (1), “anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat/minatnya.
i. Pasal 71 ayat (2), “Pengusaha yang memperkerjakan anak dalam minat bakat tersebut wajib memenuhi
syarat; dibawah pengawasan langsung orang tua/wali, waktu kerja paling lama 3 jam/hari, kondisi dan
lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, social dan waktu sekolah.
j. Pasal 72, “jika anak bekerja bersama dengan pekerja dewasa, maka tempat kerja harus dipisahkan dari
pekerja dewasa.
k. Pasal 73, “anak dianggap bekerja jika berada di tempat kerja kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
l. Pasal 74 ayat (1) dan (2), “siapapun dilarang memperkerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan yang
buruk seperti; perbudakan/sejenisnya, memanfaatkan, menyediakan, menawarkan anak untuk pelacuran,
10
produksi pornografi, pertujukan porno/perjudian, memanfaatkan, melibatkan anak untuk produksi dan
perdagangan miras, napza.
m. Pasal 75, “pemerintah wajib melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
5. UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak
Kehadiran UU No.3/1997 telah membuat ketentuan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana,
karena dalan undang-undang tersebut dikatakan bahwa pelaku tindak pidana anak (usia-8-18) tahun
diperlakukan tata cara peradilan tersendiri yang tidak sama dengan peradilan orang dewasa. Tujuan dari
perbedaan tersebut, untuk memberikan perlindungan bagi perkembangan jiwa, mental atau psykis yang masih
memiliki masa depan yang panjang dan dengan perbedaan tersebut diharapkan anak tersebut dapat dibantu
untuk pembinaannya agar menjadi anak yang mandiri, bertanggungjawab, berguna bagi masa depannya yang
lebih baik (Mokh. Najih, 2003:261).
Berikut ini akan dikemukakan beberapa pasal yang memberikan jaminan bagi anak dalam proses
peradilan yaitu:
a. Pasal 2-5, “memberikan jaminan terhadap anak untuk diadili di peradilan khusus anak.
b. Pasal 6, “Pelaksanaan siding tidak menggunakan atribut.
c. Pasal 7, “pemisahan proses persidangan anak dengan orang dewasa jika tindak pidana yang dilakukan
secara bersama-sama.
d. Pasal 8, “peoses persidangan dilakukan secara tertutup.
e. Pasal 22-32, “Pembedaan ketentuan sanksi bagi anak 8-12 tahun dengan anak 12-18 tahun.
f. Pasal 24 ayat (1), “sanksi tindakan dapat berupa penyerahan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja.
g. Pasal 28 ayat (2) dan (3), “pengganti pidana denda adalah wajib latihan kerja, wajib latihan kerja paling
lama 90 hari hari kerja dan lamanya tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak dilakukan pada malam hari.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa undang-undang Pengadilan Anak telah memberikan jaminan
hukum bagi anak, bahwa pengadilan anak dilaksanakan secara terpisah dengan orang dewasa. Pengadilan
Anak hanya khusus untuk anak yang terlibat dalam perkara pidana.
6. Keberadaan Hak-hak Anak dalam UU No. 11/2006
Adanya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh tampaknya begitu didambakan oleh masyarakat,
dengan harapan agar dikemudian hari kehidupan akan lebih baik dan sejahtera dari hari-hari sebelumnya.
Harapan yang besar juga didambakan hendaknya dengan adanya Undang-Undang ini dapat juga melindungi
anak Aceh yang begitu banyak menjadi korban akibat konflik yang berkepanjangan maupun akibat gempa dan
tsunami.
Jika kita lihat salah satu kerangkan dasar dalam penyusunan UU No. 11/2006 adalah memberi
kesempatan kepada Aceh untuk menjalankan kewenangan pemerintahan atas prinsip “otonomi luas” sehingga
tidak banyak bergantung pada kebijakan Pemerintah (pusat), antara lain dalam aspek admnistrasi, keuangan,
manajerial, politik.
Di dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “Pemerintah Aceh dan kabupaten/Kota berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah” yaitu ayat (2); urusan pemerintah yang bersifat nasional, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Untuk melaksanakan Undang-Undang ini maka di dalam Pasal 270 ayat (2) disebutkan bahwa
“Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan Qanun Aceh”. Oleh
karena itu, setelah diundangkannya Undang-Undang ini, maka perlu segera dilakukan inventarisasi kebutuhan
produk hukum di bawah Undang-Undang agar implementasi Undang-Undang dapat berlagsung dengan baik
dan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Aceh sebagaimana diharapkan.
Tim Fakultas Hukum Unsyiah telah melakukan inventrisasi terhadap Qanun-qanun yang harus
mendapat prioritas untuk segera dibentuk untuk melaksanakan Undang-Undang ini, sedangkan yang lainnya
tidak merupakan prioritas. Dari hasil inventarisasi lebih kurang ada 40 buah Qanun yang harus segera dibentuk,
11
diantara termasuk Qanun tentang perlindungan anak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 231 UU No.
11/2006. yaitu:
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban
memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan
yang bermartabat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota sebagaiman
Ketentuan yang disebutkan di atas merupakan peluang besar yang harus dimanfaatkan untuk
menyusun qanun yang benar-benar dapat melindungi Anak dari berbagai aspek.
Selain pasal tersebut di atas juga ada beberapa pasal lain yang mengatur khusus tentang anak
sebagaimana terdapat dalam Bab XXX tentang Pendidikan dan Bab XXXI tentang Kesehatan.
Di dalam Pasal 217 disebutkan:
(1) Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar tanpa dipungut biaya”
(2) Pemerintah, Pemerintahan Aceh, dan pemerintahan kabupaten/kota mengalokasikan dana untuk
membiayai pendidikan dasar dan menegah
(3) …
Kemudia di dalam Pasal 224 disebutrkan:
(4) Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa
biaya”.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.
Jika kita perhatikan undang-undang tersebut, maka hanya beberapa pasal saja yang mengatur tentang
keberadaan anak, dan hanya mengatur tentang pendidikan 1(satu) ayat dan tentang kesehatan 1 (satu) ayat,
sedangkan anak terlantar tidak tersentuh, pada hal begitu banyak anak yang ditinggalkan dan terlantar akibat
konflik dan tsunami.
Namun dengan adanya Pasal 231, maka tentang anak dapat diatur secara lebih luas dan spesifik
dalam qanun, karena di dalam pasal tersebut diamanatkan kepada Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan
pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak … anak
serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.
Mengingat masih banyak hak-hak anak yang belum diatur dalam Undang-Undang ini, maka ada
baiknya segera dibentuk qanun tentang perlindungan anak yang mencakup bebabagai aspek; budaya. sosial,
eknomomi, politik, maupun dari segi hukum. Dari segi budaya misalnya bagaimana kedudukan seorang anak di
dalam adat maupun hukum adat, dari segi ekonomi misalnya bagaimana dengan anak jalanan dan tenaga kerja
anak. Namun yang sangat penting adalah bagaimana kedudukan anak dari segi hukum, seperti anak yang
berhubungan dengan hukum, tentang perwalian, perdagangan anak, kekerasan terhadap anak, akte kelahiran
dan sebagainya. Dari hukum ini, juga perlu diperhatikan bagaimana dengan sistem peradilannya seperti
penyidik anak, dan pengadilannya. Apakah perlu dibuat qanun khusus tentang pengadilan anak? Atau disisipkan
saja dalam Qanun jinayat yang sedang di bahas?
Kekhususan dan Keistimewaan Aceh Sebagai Daerah Otonom Dalam Kerangka NKRI harus dilihat
sebagai nilai lebih sehingga qanun yang direncanakan memiliki kekhasan yang bersendikan karakteristik dan
budaya lokal yang kuat
Adanya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh tampaknya tidak begitu menguntungkan
keberadaan anak di Provinsi NAD ini, karena keberadaan undang-undang ini tidak begitu banyak mengatur
tentang perlindungan anak. Pada hal harapan besar sangat diharapkan dengan adanya undang-undang ini
untuk melindungi anak Aceh yang begitu banyak menjadi korban akibat konflik yang berkepanjangan. Karena
12
anak merupakan penerus bangsa kelak dikemudian hari, dalam keadaan apapun anaklah yang terlebih dahulu
harus diselamatkan, tanpa anak maka bangsa itu akan punah dengan sendirinya.
Dalam UU No. 11/2006 hanya beberapa pasal saja yang mengatur tentang keberadaan anak seperti yang
terdapat dalam Bab XXX tentang Pendidikan dan Bab XXXI tentang Kesehatan. Di dalam Pasal 217 ayat (1)
disebutkan bahwa “Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar tanpa dipungut biaya”
Kemudia di dalam Pasal 224 ayat (4) disebutkan “ setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh
pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa biaya”.
Selanjutnya di dalam ayat (5) disebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.
Jika kita perhatikan undang-undang tersebut, maka hanya beberapa pasal saja yang mengatur tentang
keberadaan anak, dan hanya mengatur tentang pendidikan 1(satu) ayat dan tentang kesehatan 1 (satu) ayat,
sedangkan anak yatim dan anak terlantar tidak tersentuh, pada hal begitu banyak anak yang ditinggalkan dan
terlantar akibat konflik sebagai mata dikatakan oleh Mantan Pejabat Gubernur Azwar Abubakar di atas maupun
akibat Genpa dan Tsunami.
D. PEMENUHAN HAK-HAK ANAK
Perindungan HAM anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HAM. Menghormati, menegakkan
dan mengimplementasikan hak asasi anak sejalan dengan penegakan dan implementasi HAM itu sendiri.
Namun kenyataannya hak asasi anak masih berada pada posisi yang terpinggirkan dan dianggap sebagai
masalah sekunder dalam penegakan HAM.
Akibat kurangnya perlindungan terhadap anak, maka mereka sering di eksploitasi untuk mendatangkan
keuntungan. Meskipun perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum, namun banyak
keadaan membuat kehidupan anak yang bekerja mendekati perbudakan. Hal ini mencakup eksploitasi buruh
anak, penjualan anak, pelacuran yang dipaksa, serta penjualan narkotika dengan perantaraan anak-anak.
Krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi sejak tahun 1997 telah menyebabkan tingkat pendapatan
penduduk menurun drastis yang diikuti dengan lajunya inflasi mengakibatkan menurunya daya beli masyarakat
secara tajam dan meningkatnya penduduk miskin.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin
hak-hak anak untuk mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi Konvensi ILO No. 138
menjadi UU No. 20/1999 tentang Usia Minimum untuk dperbolehkan Bekerja, ratifikasi Konvensi ILO 182
menjadi UU No. 1/2000 tentang Pelanggaran dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak, UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi kualitas
permasalahannya dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas menuju bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral, sosial dan
intelektual anak. Jenis pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, anak yang
diperdagangkan, anak bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Dari segi hak anak, yang sangat memprihatinkan adalah anak-anak yang bekerja umumnya berada
dalam posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk eksploitasi oleh orang lain khususnya oleh orang
dewasa atau suatu sistem yang memperoleh keuntungan dari tenaga anak (Suyanto, 2000:9). Berbagai studi
dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anak umumnya sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi. Di
sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah,
menghadapi risiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan
kesewenang-wenangan orang dewasa (Suyanto, 2001:10).
Kasus-kasus eksploitasi hak-hak anak yang terabaikan selama melakukan pekerjaan mereka, justru
sering kali terjadi dan dilakukan oleh orang dekat si anak. Misalnya pekerjaan anak dalam dunia hiburan
maupun sebagai penyanyi.
13
Kekerasan seksual terhadap anak selama beberapa tahun ini meningkat dengan tajam dan kondisi ini
hampir setiap hari diberitaka, baik lewat berita media Koran, telivisi, radio atau informasi langsung dari
masyarakat. Menteri Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2000 mencatat ada 7000 kasus perdagangan
perempuan dan anak yang dilacurkan (Kompas,27Agustus 2002). Kondisi ini menggambarkan bahwa
persoalaan perlindungan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk tindakan kekerasan yang
mengancam masa depannya masih belum dapat terlaksana dengan baik.
Masalah lain, adalah mengenai media hiburan dan iklan untuk anak-anak. Komnas Perlindungan anak
mencatat bahwa dari seluruh televisi di Indonesia baik swasta maupun milik pemerintah telah mengeksploitasi
anak sebagai obyek komersial, baik dalam bentukk iklan, hiburan yang disajikan.anak tidak lagi memiliki
kebebasan untuk bermain, berkreasi secara sehat, anak-anak dipasung oleh film atau cerita yang tidak bermutu,
banyak cerita perkelahian atau perang.
Data lainnya menunjukkan bahwa, eksploitasi anak tidak hanya di sektor industri dan pekerjaan. Sejak
lahir hak dan kesejahteraan anak sudah dieksploitasi. Untuk memperoleh hak paling awal, yakni hak untuk
diakui identitasnya melalui akta kelahiran, ternyata tidak semua anak bias mendapatkannya. Hal ini terjadi
karena selain biayanya terlalu mahal, birokrasi pengurusannya juga berbeli-belit. Menurut data Komnas
Perlindungan Anak, hampir 75 % anak-anak diseluruh Indonesia belum memiliki akte kelahiran. Berdasarkan
catatan UNICEF, Indonesia menempati urutan ke 109 dari 119 negara di dunia dalam hal pengembangan SDM,
cukup ironis jika dibandingkan dengan Vietnam dan Srilangka, ternyata Indonesia cukup tertinggal (Mokh. Najih,
2003:284).
Berkaitan dengan dengan pelaksanaan perlindungan hak anak, pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa kegiatan baik dalam bentuk merumuskan kegiatan maupun legislasi peratuan perundang-undangan.
Dalam legislasi undang-undang secara nyata pemerintan Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk
memberikan jaminan hukum bagi perlindungan anak di Indonesia. Namun secara empiris Implementasi undangundang
belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Kegiatan empiris yang dilakukan antara lain: secara nasional pada tahun 1998 telah dibentuk Komisi
Perlindungan Anak, Komisi ini bertugas memberikan pertimbangan kepada pemerintah, khususnya Presiden
dalam masalah kesehatan, kesejahteraan anak. Komisi juga dapat melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan program pengembangan anak dan penegakan hukum berkaitan dengan masalah perlindungan
anak.
Dalam produk hukum telah menghasilakn undang-undang mengenai Pengadilan Anak, yang
memberikan jaminan perlindungan hak anak yang terlibat perkara pidana. Kemudian diadopsinya konvensi PBB
tentang Perlindungan Anak dalam beberapa undang-undang di Indonesia seperti UU No. 23/2003 tentang
Perlindungan anak.
Melalui agenda-agenda nasional telah diperingati Hari anak Nasional p pada tanggal 23 Juli, melaui
bidang kesehatan, pemerintah telah melakukan program-program seperti Posyandu, Imunisasi, maknan bergizi
disekolah-sekalah, lewat pendidikan pemerintah telah merancang berbagai program terutama pada sekolah
tingkat dasar seperti Program Wajib Belajar 9 tahun, Program Kejar Paket A-B-C, Bea siswa dan sebagainya.
E. P E N U T U P
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sampai saat ini masih terdapat perbedaan atau ketidak
seragaman terhadap batas usia seorang anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga
menimbulkan hambatan dalam proses penegakan hukum.
Dilihat dari segi produk hukum, maka implementasi perlindungan atau jaminan hukum terhadap hak anak
di Indonesia sudah memadai hal ini ditandai dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Anak dan telah pula meratifikasi Konvensi Hak Anak. Undang-undang yang mengatur
tentang anak seperti; UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak dan
UU N0. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan, UU No. 39/1999
tentang HAM, dan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kehadiran peraturan perundang-undangan ini telah menjamin keberadaan hak anak, namun dalam
pelaksanaannya yang masih jauh dari harapan, mengingat masih banyaknya anak yang dieskploitasi dalam
berbagai kasus seperti pekerja anak, anak terlantar, anak pengemis, anak yang tidak dapat melajutkan
14
pendidikan, anak korban seksual, perdagangan anak, anak yang terlibat dalam konflik dan sebagainya. Usaha
untuk mencegah eksploitasi anak sebagaimana disebut di atas memang telah dilakukan pemerintah untuk
mewujudkan peningkatan dan perlindungan kesejahteraan anak, namun kegiatan-kegiatan tersebut masih
memerlukan perbaikan.
Untuk itu perlu dilakukan penegakan terhadap aturan-aturan yang telah ada dengan mensosialisasikan
bahwa pentingnya perlindungan hak anak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk itu antara lain
peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak, memberikan pendidikan pada anakanak
akan hak mereka, peningkatan pemahaman dan kesadaran para pembuat peraturan perundang-undangan
akan hak-hak anak, peningkatan pemehaman, profesionalisme penegak hukum mengenai hak-hak anak dalam
melayani dan melindungi serta meingkatkan peran lembaga-lembaga kemasyakatan yang aa untuk
menegakkan dan memulihkan hak-hak anak.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar Abubakar, (2004), “Dampak Konflik Bersenjata Terhadap Perkembangan Anak Provinsi Nanggoe Aceh
Darussalam, Makalah disampaikan pada Seminar Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak di Daerah NAD
Depkeh HAM dengan UNICEF, Jakarta 28 Juni 2004.
Bagong Suyanto, Sri Sanituti Hariadi, dan Addriono, (2001), Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, Surabaya.
Fifik Wiryani, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak”, Jurnal Legality, Vol. 11 No. 2 September 2003-Februari
2004.
Mokh. Najih, “Perlindungan Hak Asasi Anak Dalam Hukum Indonesia ”Jurnal Legality, Vol. 11 No. 2 September
2003-Februari 2004.
Riza Nizarli, “Pembinaan Terpidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan” Tesis S2 Universitas Indonesia,
Jakarta 1995.
Tarmizi, “Pelanggaran Hukum Atas Pelanggaran Hak Asasi Anak Di Indoesia, Tesis S2, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 2002.
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang Ketenagakerjaan
Harian Kompas 22 September 2001
Kompas,27Agustus 2002
Harian Kompas, 27 Juli 2002.

Hak Demokratis Mahasiswa

Pengertian Pemuda


Pemuda adalah salah satu golongan atau sektor dalam masyarakat yang dikategorikan berdasarkan umur. Secara umum, pemuda bisa diartikan sebagai mereka yang berusia antara 15 hingga 35 tahun. Dalam kategori umum ini, terdapat klasifikasi lagi yang terbagi dalam Pemuda-pelajar, Pemuda-Mahasiswa dan Pemuda-umum. Ditinjau dari perspektif tenaga produktif, golongan pemuda adalah tenaga produktif yang potensial dalam proses produksi karena berusia lebih muda, energik dan tingkat mobilitas yang lebih tinggi. Untuk itulah usia pemuda juga disebut sebagai usia produktif.

Pemuda-pelajar adalah pemuda yang berstatus sebagai pelajar dan mengenyam bangku pendidikan sekolah dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Masa tempuh bangku sekolah pelajar rata-rata 3 tahun untuk setiap jenjang pendidikan. Sering kali mereka disebut juga sebagai remaja atau dalam istilah pergaulan disebut “ABG” (anak baru gede). Dulu, istilah pemuda pelajar adalah bagi mereka yang menempuh bangku kuliah. Istilah pemuda-pelajar dikenal sejak era Kebangkitan Nasional hingga akhir tahun 1950-an. Sejak itu, istilah pemuda-pelajar lebih dikenal sebagai mahasiswa.

Pemuda-Mahasiswa adalah pemuda yang berstatus sebagai mahasiswa dan mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi (Universitas/Sekolah Tinggi/Institut/Akademi/Politeknik). Pemuda-mahasiswa lebih lazim disebut sebagai mahasiswa. Sementara pemuda umum adalah pemuda yang terhimpun dalam berbagai sektor masyarakat seperti pemuda buruh, pemuda tani ataupun pemuda pengangguran. Namun rata-rata, pemuda umum di Indonesia tidak mengenyam dunia pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan secara tetap. Mereka ini juga menjadi korban dari kebijakan pendidikan mahal dan tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan kepada rakyat, terutama bagi golongan pemuda.

Tentang Mahasiswa
Mahasiswa yang bisa berkuliah rata-rata berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yang dimaksudkan dengan keluarga cukup mampu ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai borjuasi kecil hingga borjuasi besar di perkotaan. Ataupun dari keluarga tuan tanah, tani kaya dan tani sedang atas di pedesaan. Rata-rata keluarga yang mampu menguliahkan anaknya adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan sebuah perusahaan, pemilik toko-toko kecil hingga anak-anak pejabat dan pengusaha besar. Sangat minim keluarga dari buruh pabrik, buruh tani dan tani miskin yang mampu menguliahkan anaknya.

Rata-rata mahasiswa di Indonesia menempuh massa kuliah 4-5 tahun untuk jenjang pendidikan strata 1 (S1) atau sarjana. Jenjang pendidikan S1 dibekali dengan pendidikan teoritis dan praktis. Ada juga mahasiswa yang menempuh massa kuliah 1-3 tahun untuk jenjang pendidikan D1, D2, D3 dan Politeknik. Jenjang pendidikan ini lebih menekankan pada pembekalan ketrampilan atau praktis. Ada juga jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) yang menempuh waktu rata-rata 2-3 tahun. Jenjang pendidikan ini banyak diisi oleh mahasiswa dari kalangan borjuasi besar, anak tuan tanah atau tani kaya. Karena biaya kuliah untuk jenjang ini terbilang sangat mahal. Dan orientasinya lebih ditujukan untuk memenuhi prestise (gengsi sosial) agar memudahkan dalam menapaki karier baik dalam menjadi karyawan sebuah perusahan, birokrat pemerintahan, intelektual borjuis dan politisi borjuis.

Untuk itu pula, mahasiswa secara kedudukan klas disebut “borjuasi kecil”. Maksudnya, mahasiswa tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi ekonomi layaknya klas buruh dan kaum tani, tetapi memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan sebagai alat produksi yang akan digunakan untuk keberlangsungan hidupnya, terutama untuk memenuhi tuntutan hidup pasca kuliah. Kedudukan sebagai borjuasi kecil juga terlihat dari watak individualis mahasiswa dan cita-cita yang rata-rata ingin jadi “orang besar” baik sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan, birokrat pemerintahan, intelektual hingga politisi. Karena borjuasi kecil memang selau berkeinginan untuk menjadi borjuasi besar. Hingga kemudian pragmatisme begitu mengental di mahasiswa. Mahasiswa akan lebih memikirkan dirinya sendiri seperti mengejar nilai kuliah setinggi-tingginya dibandingkan memperjuangkan kesejahteraannya baik di kampus ataupun yang berkenaan dengan kebijakan pemerintah, walaupun dirinya menyadari bahwa ada persoalan mengenai hal tersebut.

Namun mahasiswa juga memiliki tingkat kekritisan terhadap persoalan-persoalan di sekelilingnya. Mahasiswa juga memiliki semangat kaum muda yang selalu mendambakan terjadinya perubahan atas kondisi sosial yang ada. Seringkali pemikiran kritis mahasiswa atau keluhan-keluhan mahasiswa hanya disikapi secara individu, dipendam sendiri, menjadi obrolan-obrolan singkat dalam tongkrongan atau hanya dianggap angin lalu saja. Karena mahasiswa sering berpikir hal itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja atau bukan masalah karena nantipun ketika dia lulus akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan modal sarjananya. Apalagi bagi mahasiswa yang berlatar belakang dari keluarga borjuasi besar dan tuan tanah. Tetapi, peluang untuk membangkitkan, menggorganisasikan dan mengorganisasikan mahasiswa juga sangat terbuka karena mahasiswa juga mengalami ketertindasan dan keterhisapan dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Sejarah juga telah mencatat bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan politik dan sosial baik di dunia dan di Indonesia.

Mahasiswa juga mengalami keterasingan dari realita sosial yang ada. Hal ini tidak terlepas dari kurikulum pendidikan yang diterimanya di bangku perkuliahan yang memang memisahkan dirinya dari realitas sosial. Dunia kampus telah didesain oleh negara menjadi “menara gading” yang hanya membuat mahasiswa memandang sesuatu dari permukaan semata. Di bangku kuliah, mahasiswa dijejali dengan serangkaian mata kuliah yang tidak ilmiah. Maksudnya, pelajaran-pelajaran yang didapatkan oleh mahasiswa di bangku kuliah tidak membuat dirinya mampu memahami arti sesungguhnya dari fungsi dan kegunaan itu sendiri.

Tentang Negara dan Rakyat
Negara dalam pengertian yang lazim dipahami oleh masyarakat luas adalah pihak yang bertugas atau memiliki kewajiban menyelenggarakan pemerintahan yang ditujukan untuk mensejahterakan kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian, tujuan diadakannya negara sesungguhnya adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Karena, negara atau pemerintahan didirikan atas mandat atau amanat dari rakyat untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat.

Rakyat sendiri adalah unsur-unsur klas, sektor atau golongan yang masing-masing memiliki kepentingan-kepentingan sosial-ekonomis (penghidupan sehari-hari) dan politik tersendiri. Secara umum rakyat Indonesia terdiri dari klas buruh, kaum tani, kaum pemuda, kaum perempuan, kaum miskin perkotaan, suku bangsa minoritas dan kaum minoritas seperti LGBT(lesbian, gay dan transeksual). Diantara susunan ini, kaum tani dan klas buruh adalah jumlah terbesar dalam masyarakat Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta jiwa. Kaum tani berjumlah kurang lebih 60 hingga 70 persen (di atas 100 juta jiwa) dan klas buruh sekitar 20-30 persen (30-40 juta jiwa). Kaum perempuan adalah populasi terbesar dalam masyarakat dengan perbandingan 60 : 40 persen dengan kaum laki-laki. Sementara jumlah angkatan kerja produktif berjumlah sekitar 100 juta jiwa.

Disebutkan di atas bahwa masing-masing klas, golongan atau sektor tersebut memiliki kepentingan sosial ekonomis tersendiri. Klas buruh misalnya, memiliki kepentingan akan upah yang layak, kepastian jaminan kerja dan jaminan kesejahteraan lainnya seperti jaminan kesehatan dan pesangon. Kaum tani memiliki kepentingan akan sewa tanah yang lebih murah, hak untuk menggarap atau memiliki tanah dan jaminan untuk berproduksi. Sektor pemuda secara umum memiliki kepentingan atas akses pendidikan dan jaminan lapangan pekerjaan. Sementara kaum perempuan berkepentingan atas adanya kesetaraan antara kaum lelaki dan kaum perempuan dan akses terhadap segala bidang, baik politik, ekonomi dan budaya.

Kepentingan-kepentingan ini kemudian dikenal sebagai hak-hak demokratis rakyat. Yang dimaksudkan dengan hak-hak demokratis rakyat adalah hak-hak dasar atau hak-hak normatif dari rakyat yang semestinya didapatkan sebagai tuntutan lahiriah (universal) ataupun yang telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hak-hak demokratis inilah yang seharusnya menjadi penopang bagi negara atau pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan demi tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia.

Mengacu pada pengertian akan negara dan tanggung jawabnya serta hak-hak demokratis rakyat, sesungguhnya apa yang diungkapkan di atas telah diatur dalam konstitusi atau UUD 1945. Dalam tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa negara bertujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut terlibat dalam usaha perdamaian dunia. Lebih lanjut tentang hak-hak rakyat baik bersifat sosial-ekonomis dan politik, diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 27-34.

Namun sejauh ini apa yang telah diatur dalam konstitusi tersebut, masih sering dilanggar oleh negara yang berkewajiban sesuai dengan amanat UUD 1945. Ambil contoh, dalam pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD sebagaimana mandat pasal 31 UUD 1945, sampai kini belum dipenuhi. Padahal pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen sangat berarti untuk menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian dalam penguasaan sumber kekayaan alam oleh negara dan dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran rakyat juga tidak dipenuhi. Saat ini, banyak kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Parahnya, rakyat bukan semakin makmur, justru makin miskin. Misalnya dalam kasus PT Freeport Indonesia. Perusahaan milik AS yang beroprasi sejak tahun 1967 ini, merupakan salah satu perusahaan tembaga dan mas terbesar di dunia (ke-3) dan berpenghasilan melebihi ¼ PDB Indonesia, namun keberadaannya justru tidak mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Papua. Sungai-sungai besar di Papua tercemar, pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua, perdagangan kaum perempuan dan kemiskinan justru lebih terlihat nyata dibandingkan kemakmuran yang dirasakan.

Hal di atas hanya sedikit dari sekian persoalan tentang pelanggaran tanggung jawab negara terhadap rakyat. Dalam pasal 27 UUD 1945, disebutkan negara menjamin kehidupan yang layak dan lapangan pekerjaan. Tapi dengan dinaikannya harga BBM, justru kehidupan rakyat semakin menyedihkan karena harga-harga melonjak dan pendapatan yang minim. Di lain sisi, juga mengancam lapangan pekerjaan karena naiknya harga BBM juga berimbas bagi adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara kaum tani terancam tidak bisa berproduksi, karena besarnya biaya produksi yang harus ditanggung seperti bubuk dan bibit. Dalam hal politik misalnya, hak-hak berpendapat dan berorganiasi juga masih dikekang, seperti larangan berdemonstrasi dan stigmaisasi organisasi dengan tuduhan sebagai PKI dan ounderbouwnya. Atau bagaimana Kejaksaan Agung rejim SBY-Kalla mengeluarkan kebijakan membatalkan proses hukum Soeharto, padahal hal ini merupakan mandat TAP MPR dan cita-cita reformasi serta menginjak-injak rasa keadilan masyarakat.

Masing-masing klas, sektor atau golongan ini memiliki kepentingan sosial-ekonomis tersendiri, namun secara umum setiap klas, sektor dan golongan ini disatukan atas dasar penindasan yang sama, yaitu penindasan dan penghisapan dari imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat melalui rejim boneka-nya di Indonesia yang merupakan kekuasaan (kediktatoran) bersama antara borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat yang selalu setia melayani kaum kapitalis monopoli internasional (imperialisme). Inilah yang menjadi pertautan persatuan dan perjuangan bersama seluruh rakyat tertindas di Indonesia saat ini.

Hingga kemudian tidak salah dan sangat wajar jika kemudian seringkali muncul demonstrasi atau unjuk rasa dari masyarakat yang menuntut hak-haknya, karena memang selama ini hak-hak demokratis rakyat tidak dipenuhi oleh negara. Dan hal ini sangat penting, karena rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat. Bukan pejabat atau pengusaha baik asing atau swasta. Karena tanpa rakyat, negara ibaratnya rumah tanpa pondasi yang bisa dipastikan akan mudah roboh tanpa perlu diterpa angin yang kencang. Maka, sesungguhnya kedaulatan rakyat seperti yang disebutkan dalam Konstitusi Replubik

Tentang Hak-Hak Demokratis Mahasiswa
Hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa adalah hak-hak normatif atau hak-hak dasar pemuda-mahasiswa yang meliputi kepentingan sosial-ekonomis dan politik yang harus dipenuhi sebagaimana mestinya, baik yang bersifat tuntutan lahiriah ataupun yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum yang berlaku. Secara umum, hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa adalah meliputi hak atas pendidikan dan jaminan lapangan pekerjaan.

Jika kita mengkaji lebih jauh, banyak sekali hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa yang tidak dipenuhi, namun secara umum hal tersebut menyangkut persoalan tentang pendidikan dan lapangan pekerjaan. Bukan sekedar gosip jika kini kampus seperti UGM, UI atau ITB termasuk dalam daftar kampus termahal di Indonesia, terutama sejak diberlakukan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada 6 kampus besar (UI, ITB, IPB, UGM, UPI, dan USU) di Indonesia. Selain soal besarnya biaya masuk dan SPP, masih disusul serangkaian biaya seperti BOP, dana praktikum, sumbangan orang tua atau deretan “pungli” yang tidak jelas. Diberlakukannya sistem “jalur khusus” di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka, semakin membuka tabir komersialisasi pendidikan. Dengan uang belasan juta hingga puluhan juta, seseorang bisa dengan mudah berkuliah. Pertanyaannya, berapa banyak rakyat Indonesia yang berpenghasilan seperti itu? Mengingat, rata-rata pendapatan orang Indonesia berada di bawah 2 dollar AS per hari.

Mahalnya biaya pendidikan, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas pendidikan. Tidak sedikit kampus-kampus, baik swasta dan negeri—yang memiliki fasilitas tidak memadai. Laboratorium, ruangan kelas, bangku kuliah, WC, parkiran atau jasa internet, sering menjadi keluhan bagi mahasiswa. Iklan-iklan pendidikan yang sering ditawarkan, justru sering menipu mahasiswa. Apa yang tercantum dalam brosur, ternyata tidak sesuai dengan fakta ketika mahasiswa menginjakkan kakinya di kampus.

Justru yang sering terjadi, banyak fasilitas pendidikan di kampus yang didagangkan atau didirikannya fasilitas-fasilitas yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan mahasiswa, tetapi lebih ditujukan untuk mencari keuntungan komersil dengan cara-cara seperti penyewaan auditorium/aula, pemasangan iklan, pembukaan ritel-ritel perusahaan tertentu atau kerjasama dengan perusahaan tertentu untuk menambah pundi-pundi kas birokrasi kampus.

Kemudian pelayanan pendidikan yang cenderung birokratis (istilahnya dipingpong) hingga soal dosen yang sering bolos ngajar, anti kritik, monologis dan dogmatis. Dosen-dosen sendiri juga terancam kehidupannya, karena rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima. Sementara, para petinggi kampus bisa terus mengganti mobil baru atau rumah baru dan mendapatkan kenaikan gaji.

Lantas bagaimana dengan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Majalah Asia Week (2003) melaporkan bahwa kampus sekelas UI dan UGM hanya menempati urutan 60-70 an dari seluruh universitas di Asia Pasifik. Peringkat pendidikan Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam dan Philipina, karena minimnya lulusan pendidikan tinggi yang terserap dalam lapangan kerja formal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana Indonesia yang menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan besar biaya yang dikeluarkan ketika kuliah.

Sektor pendidikan Indonesia saat ini menuju pada liberalisasi dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Setidaknya ada beberapa hal yang meindikasikan hal tersebut. Pertama, pencabutan subsidi pendidikan yang telah mendorong biaya pendidikan menjadi mahal, karena pendidikan ditujukan menjadi barang dagangan (komoditi) bukan lagi pelayanan negara terhadap rakyat. Liberalisasi sektor pendidikan sendiri secara global telah diatur oleh salah satu lembaga milik imperialisme yaitu organisasi perdagangan dunia (WTO) dalam General Agreement on Trade Services (GATS) tentang liberalisasi perdagangan jasa pendidikan.

Selanjutnya, dalam kesepakatan untuk mendapatkan utang luar negeri melalui CGI dan IMF, pemerintah diharuskan mencabut subsidi sosial, seperti pendidikan, kesehatan, BBM, listrik, air dan telepon. Hingga dalam APBN, alokasi anggaran pendidikan hanya berkisar 4-9% per tahun, dimana 40 persen porsi anggaran dialokasikan untuk pembayaran utang dan rekapitalisasi perbankan, dimana hasilnya juga tidak dinikmati oleh rakyat.

Pencabutan subsidi pendidikan telah mendorong terjadinya proses privatisasi pendidikan, terutama bagi kampus-kampus negeri. Setelah memberlakukan status BHMN bagi 6 PTN terkemuka di Indonesia, pemerintah tengah berupaya menerapkan sistem Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT). Dengan BHPT, kampus-kampus di Indonesia akan diubah tak bedanya dengan perusahaan yang berorientasi profit, bukan membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam bangku kuliah dan institusi pendidkan yang bertujuan mencerdasakan kehidupan bangsa. Dorongan privatisasi pendidikan semakin jelas, ketika dalam rencana strategis (renstra) pendidikan 2005, pemerintah secara jelas menekankan pendidikan diukur dari kemampuan ekonomi seseorang. Artinya, sekolah bermutu hanya bagi mereka yang berduit, sedangkan bagi mereka yang miskin hanya bisa mendapatkan sekolah pas-pasan.

Dibukanya kerjasama dengan dunia industri—sesuai kurikulum berbasis kompetensi, tidak menjamin lulusan perguruan tinggi bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Sejauh ini, kerjasama lebih ditujukan untuk menarik minat calon mahasiswa dengan embel-embel magang kerja dan sebagainya. Terbukti, ketika musim seleksi PNS datang, tidak sedikit sarjana yang harus ngantri untuk mengikuti seleksi. Itupun belum tentu diterima, tergantung bagaiman kemampuan menyogok “orang dalam”. Atau fakta deretan sarjana yang sering mengutak-atik jasa iklan lowongan pekerjaan dan keluar masuk kantor perusahaan.

Sebagai catatan, angka pengangguran masih terus bergerak naik. Pada tahun 1997 jumlah pengangguran mencapai 5,4 persen. Di tahun 2004 naik hingga 10,8 persen. Jika menghitung pengangguran tertutup atau mereka yang setengah menganggur, angka pengangguran telah mencapai lebih dari 40 juta. Ironisnya, sebagian besar pengangguran menimpa tenaga kerja muda dan perempuan. Sekitar tiga dari sepuluh angkatan kerja berusia 15 hingga 24 tahun adalah penganggur. Kelompok muda penganggur ini mencapai dua pertiga dari total pengangguran yang ada (26,7 juta jiwa). Angka perempuan penganggur lebih besar dibandingkan dengan penganggur laki-laki. Pada tahun 2005, pemerintah menjanjikan akan menyerap 2 juta tenaga kerja bila target pertumbuhan bisa mencapai 5,5 persen. Namun angkatan kerja yang baru setiap tahun tumbuh lebih dari 2,5 juta. Depnaker dalam perhitungan terakhir menyebutkan bahwa jumlah penggangguran terbuka di seluruh Indonesia sekitar 10,25 juta jiwa. Kemungkinan tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 1,8 juta jiwa dari 2 juta pekerja. Artinya, logika pertumbuhan ekonomi ala Bretton Woods yang diagung-agungkan pemerintah ternyata tidak mampu menyerap lulusan perguruan tinggi, karena sekitar 55 persen angakatan kerja adalah lulusan sekolah dasar ke bawah.

Ancaman lain adalah masuknya perguruan tinggi asing ke dalam negeri. Terkait hal ini, pemerintah bahkan berencana akan merevisi UU Sisdiknas Nomor 20/2003 untuk memudahkan masuknya institusi pendidikan asing. Apakah kehadiran jasa pendidikan asing akan meningkatkan kualitas pendidikan? Dari segi biaya saja harganya dipastikan akan sulit dijangkau. Apalagi dengan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Biaya pendidikan yang ada saat ini saja, telah menyulitkan akses untuk berkuliah. Kemudian ancaman kebangkrutan bagi kampus-kampus kecil yang kurang ternama. Jika ingin bertahan hanya dua pilihan yaitu menekan mahasiswa dengan menaikan biaya kuliah atau mengalihkan modalnya kepada kampus-kampus asing atau kampus besar (merger/akuisisi). Pilihan terakhir adalah menutup kampus, karena tidak sanggup lagi menahan besar biaya operasional.

Dengan demikian, liberalisasi memang tidak menjawab persoalan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia apalagi pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masa depan pendidikan Indonesia justru terancam dengan krisis yang akan semakin kronis karena liberalisasi pendidikan yang sesungguhnya adalah “mega proyek” imperialisme di sektor pendidikan.

Kampus tidak bisa dinilai sebagai lembaga yang otonom secara nilai. Sebagai institusi sosial yang mengajarkan dan menyebarluaskan nilai-nilai sosial, imperialisme dan kaki tangannya di dalam negeri tentu saja berkepentingan untuk menanamkan dominasinya sekaligus hegemoninya di tengah kampus. Selain bertujuan menghasilkan tenaga kerja murah yang akan mengisi kantong-kantong perusahaan imperialis dan kompradornya, kaum intelektual kampus adalah sasaran empuk bagi calon-calon “propagandis” yang akan menyebarluaskan nilai-nilai dari sistem yang mendominasi yaitu imperialisme dan feodalisme.

Tidak sedikit pandangan-pandangan kaum intelektual kampus yang mendukung masuknya investasi asing, menentang land reform, atau mengkebiri kekritisan mahasiswa di kampus. Hingga kemudian menjauhkan mahasiswa dari realitas “bobrok”nya kampus dan kemiskinan rakyat Indonesia. Mahasiswa takut berbicara lantang, karena di ancam nilai jelek, presensi hingga drop out (DO). Mahasiswa hanya didorong sekedar menikmati persoalan akademis kampus. Aktifitas kritis dikampus dianggap tidak sesuai dengan iklim akademis. Padahal dalam demokrasi—seperti yang sering dikutip para petinggi kampus, demonstrasi, kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi adalah hal yang wajar-wajar saja.

Mahasiswa yang katanya agent 0f change dan agent of social control, ternyata sulit menerapkan ilmunya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat. Hal ini terjadi karena pemberian materi-materi perkuliahan memang menjauhkan mahasiswa dari realitas kemiskinan rakyat Indonesia. Sarjana arsitektur Indonesia lebih bangga membangun gedung pencakar langit dibandingkan mendirikan perumahan bagi kaum buruh yang terus menempati bedeng-bedeng kumuh di perkotaan. Mahasiswa ekonomi dicekoki dengan teori ekonomi pertumbuhan yang justru mengakibatkan lautan PHK dan membludaknya pengangguran. Warisan kolonial yang dipelajari mahasiswa hukum dalam KUHP dan deretan pasal karetnya, ternyata lebih sering digunakan untuk menjerat perjuangan rakyat yang menuntut hak-hak demokratisnya. Wajar kemudian jika banyak pengacara yang memilih membela pejabat korup dibandingkan membela kaum tani dan buruh.

Bangkit, Berorganisasi dan Bergerak Gapai Hak Kita
Pemuda-mahasiswa harus menyadari bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi hak-hak demokratisnya. Dengan menyadari ini dan kemudian kita melihat bahwa hak-hak demokratis tersebut tidak dipenuhi oleh negara, maka mau tidak mau kita harus berjuang untuk mendapatkannya. Tapi sekali lagi, untuk memperjuangkan itu semua, pemuda-mahasiswa membutuhkan alat yang tepat. Dan alat itu adalah organisasi. Hanya dengan berorganisasi lah pemuda-mahasiswa bisa mengaspirasikan tuntutannya dan bersama seluruh massa pemuda-mahasiswa yang tergabung dalam organisasi bisa memperjuangkannya secara bersama. Karena perubahan tidak bisa tercipta melalui segelintir orang. Tapi perubahan sangat ditentukan oleh kekuatan massa, karena perubahan sesungguhnya adalah karya massa. Dengan bergabung dalam organisasi massa yang militan, patriotik dan demokratis, massa pemuda-mahasiswa akan bergerak melalui program-program aksi yang konkret untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dan menggapai tuntutan-tuntutan hak-hak demokratisnya. Bangkitlah kaum muda Indonesia!

Hingga sangat banyak pemuda pedesaan yang beralih ke perkotaan, karena di desa pekerjaan sebagai tani tidak menjanjikan jaminan penghidupan yang lebih layak, karena adanya monopoli pengusaan tanah dan hasil produksi pertanian oleh tuan tanah baik perorangan ataupun institusi milik negara, swasta dan asing, seperti inhutani dan perhutani.

Baik sekolah atau perguruan tinggi saat ini, ada yang dikelola langsung oleh negara dan ada juga yang ditangani oleh pihak swasta. Seiring terjadinya liberalisasi pendidikan dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan, kondisi institusi pendidikan negeri (milik negara) dan institusi pendidikan swasta (dikelola badan usaha) sudah tidak jauh berbeda, yaitu mahalnya biaya pendidikan. Sementara tentang persoalan pengangguran, juga tidak terlepas dari kondisi dunia pendidikan yang “bobrok”, hingga banyak pemuda di negeri ini sulit mengenyam pendidikan dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyerap lulusan dunia pendidikan dalam dunia kerja.