Selamat Datang Di Blog BEM Fakultas Hukum Univ. Widya Gama Mahakam Samarinda

kami berharap anda memberikan saran dan kritikan kepada kami

Minggu, 19 Desember 2010

Hak Demokratis Mahasiswa

Pengertian Pemuda


Pemuda adalah salah satu golongan atau sektor dalam masyarakat yang dikategorikan berdasarkan umur. Secara umum, pemuda bisa diartikan sebagai mereka yang berusia antara 15 hingga 35 tahun. Dalam kategori umum ini, terdapat klasifikasi lagi yang terbagi dalam Pemuda-pelajar, Pemuda-Mahasiswa dan Pemuda-umum. Ditinjau dari perspektif tenaga produktif, golongan pemuda adalah tenaga produktif yang potensial dalam proses produksi karena berusia lebih muda, energik dan tingkat mobilitas yang lebih tinggi. Untuk itulah usia pemuda juga disebut sebagai usia produktif.

Pemuda-pelajar adalah pemuda yang berstatus sebagai pelajar dan mengenyam bangku pendidikan sekolah dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Masa tempuh bangku sekolah pelajar rata-rata 3 tahun untuk setiap jenjang pendidikan. Sering kali mereka disebut juga sebagai remaja atau dalam istilah pergaulan disebut “ABG” (anak baru gede). Dulu, istilah pemuda pelajar adalah bagi mereka yang menempuh bangku kuliah. Istilah pemuda-pelajar dikenal sejak era Kebangkitan Nasional hingga akhir tahun 1950-an. Sejak itu, istilah pemuda-pelajar lebih dikenal sebagai mahasiswa.

Pemuda-Mahasiswa adalah pemuda yang berstatus sebagai mahasiswa dan mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi (Universitas/Sekolah Tinggi/Institut/Akademi/Politeknik). Pemuda-mahasiswa lebih lazim disebut sebagai mahasiswa. Sementara pemuda umum adalah pemuda yang terhimpun dalam berbagai sektor masyarakat seperti pemuda buruh, pemuda tani ataupun pemuda pengangguran. Namun rata-rata, pemuda umum di Indonesia tidak mengenyam dunia pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan secara tetap. Mereka ini juga menjadi korban dari kebijakan pendidikan mahal dan tidak adanya jaminan lapangan pekerjaan kepada rakyat, terutama bagi golongan pemuda.

Tentang Mahasiswa
Mahasiswa yang bisa berkuliah rata-rata berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yang dimaksudkan dengan keluarga cukup mampu ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai borjuasi kecil hingga borjuasi besar di perkotaan. Ataupun dari keluarga tuan tanah, tani kaya dan tani sedang atas di pedesaan. Rata-rata keluarga yang mampu menguliahkan anaknya adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan sebuah perusahaan, pemilik toko-toko kecil hingga anak-anak pejabat dan pengusaha besar. Sangat minim keluarga dari buruh pabrik, buruh tani dan tani miskin yang mampu menguliahkan anaknya.

Rata-rata mahasiswa di Indonesia menempuh massa kuliah 4-5 tahun untuk jenjang pendidikan strata 1 (S1) atau sarjana. Jenjang pendidikan S1 dibekali dengan pendidikan teoritis dan praktis. Ada juga mahasiswa yang menempuh massa kuliah 1-3 tahun untuk jenjang pendidikan D1, D2, D3 dan Politeknik. Jenjang pendidikan ini lebih menekankan pada pembekalan ketrampilan atau praktis. Ada juga jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) yang menempuh waktu rata-rata 2-3 tahun. Jenjang pendidikan ini banyak diisi oleh mahasiswa dari kalangan borjuasi besar, anak tuan tanah atau tani kaya. Karena biaya kuliah untuk jenjang ini terbilang sangat mahal. Dan orientasinya lebih ditujukan untuk memenuhi prestise (gengsi sosial) agar memudahkan dalam menapaki karier baik dalam menjadi karyawan sebuah perusahan, birokrat pemerintahan, intelektual borjuis dan politisi borjuis.

Untuk itu pula, mahasiswa secara kedudukan klas disebut “borjuasi kecil”. Maksudnya, mahasiswa tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi ekonomi layaknya klas buruh dan kaum tani, tetapi memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan sebagai alat produksi yang akan digunakan untuk keberlangsungan hidupnya, terutama untuk memenuhi tuntutan hidup pasca kuliah. Kedudukan sebagai borjuasi kecil juga terlihat dari watak individualis mahasiswa dan cita-cita yang rata-rata ingin jadi “orang besar” baik sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan, birokrat pemerintahan, intelektual hingga politisi. Karena borjuasi kecil memang selau berkeinginan untuk menjadi borjuasi besar. Hingga kemudian pragmatisme begitu mengental di mahasiswa. Mahasiswa akan lebih memikirkan dirinya sendiri seperti mengejar nilai kuliah setinggi-tingginya dibandingkan memperjuangkan kesejahteraannya baik di kampus ataupun yang berkenaan dengan kebijakan pemerintah, walaupun dirinya menyadari bahwa ada persoalan mengenai hal tersebut.

Namun mahasiswa juga memiliki tingkat kekritisan terhadap persoalan-persoalan di sekelilingnya. Mahasiswa juga memiliki semangat kaum muda yang selalu mendambakan terjadinya perubahan atas kondisi sosial yang ada. Seringkali pemikiran kritis mahasiswa atau keluhan-keluhan mahasiswa hanya disikapi secara individu, dipendam sendiri, menjadi obrolan-obrolan singkat dalam tongkrongan atau hanya dianggap angin lalu saja. Karena mahasiswa sering berpikir hal itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja atau bukan masalah karena nantipun ketika dia lulus akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan modal sarjananya. Apalagi bagi mahasiswa yang berlatar belakang dari keluarga borjuasi besar dan tuan tanah. Tetapi, peluang untuk membangkitkan, menggorganisasikan dan mengorganisasikan mahasiswa juga sangat terbuka karena mahasiswa juga mengalami ketertindasan dan keterhisapan dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Sejarah juga telah mencatat bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan politik dan sosial baik di dunia dan di Indonesia.

Mahasiswa juga mengalami keterasingan dari realita sosial yang ada. Hal ini tidak terlepas dari kurikulum pendidikan yang diterimanya di bangku perkuliahan yang memang memisahkan dirinya dari realitas sosial. Dunia kampus telah didesain oleh negara menjadi “menara gading” yang hanya membuat mahasiswa memandang sesuatu dari permukaan semata. Di bangku kuliah, mahasiswa dijejali dengan serangkaian mata kuliah yang tidak ilmiah. Maksudnya, pelajaran-pelajaran yang didapatkan oleh mahasiswa di bangku kuliah tidak membuat dirinya mampu memahami arti sesungguhnya dari fungsi dan kegunaan itu sendiri.

Tentang Negara dan Rakyat
Negara dalam pengertian yang lazim dipahami oleh masyarakat luas adalah pihak yang bertugas atau memiliki kewajiban menyelenggarakan pemerintahan yang ditujukan untuk mensejahterakan kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian, tujuan diadakannya negara sesungguhnya adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Karena, negara atau pemerintahan didirikan atas mandat atau amanat dari rakyat untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat.

Rakyat sendiri adalah unsur-unsur klas, sektor atau golongan yang masing-masing memiliki kepentingan-kepentingan sosial-ekonomis (penghidupan sehari-hari) dan politik tersendiri. Secara umum rakyat Indonesia terdiri dari klas buruh, kaum tani, kaum pemuda, kaum perempuan, kaum miskin perkotaan, suku bangsa minoritas dan kaum minoritas seperti LGBT(lesbian, gay dan transeksual). Diantara susunan ini, kaum tani dan klas buruh adalah jumlah terbesar dalam masyarakat Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta jiwa. Kaum tani berjumlah kurang lebih 60 hingga 70 persen (di atas 100 juta jiwa) dan klas buruh sekitar 20-30 persen (30-40 juta jiwa). Kaum perempuan adalah populasi terbesar dalam masyarakat dengan perbandingan 60 : 40 persen dengan kaum laki-laki. Sementara jumlah angkatan kerja produktif berjumlah sekitar 100 juta jiwa.

Disebutkan di atas bahwa masing-masing klas, golongan atau sektor tersebut memiliki kepentingan sosial ekonomis tersendiri. Klas buruh misalnya, memiliki kepentingan akan upah yang layak, kepastian jaminan kerja dan jaminan kesejahteraan lainnya seperti jaminan kesehatan dan pesangon. Kaum tani memiliki kepentingan akan sewa tanah yang lebih murah, hak untuk menggarap atau memiliki tanah dan jaminan untuk berproduksi. Sektor pemuda secara umum memiliki kepentingan atas akses pendidikan dan jaminan lapangan pekerjaan. Sementara kaum perempuan berkepentingan atas adanya kesetaraan antara kaum lelaki dan kaum perempuan dan akses terhadap segala bidang, baik politik, ekonomi dan budaya.

Kepentingan-kepentingan ini kemudian dikenal sebagai hak-hak demokratis rakyat. Yang dimaksudkan dengan hak-hak demokratis rakyat adalah hak-hak dasar atau hak-hak normatif dari rakyat yang semestinya didapatkan sebagai tuntutan lahiriah (universal) ataupun yang telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hak-hak demokratis inilah yang seharusnya menjadi penopang bagi negara atau pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan demi tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia.

Mengacu pada pengertian akan negara dan tanggung jawabnya serta hak-hak demokratis rakyat, sesungguhnya apa yang diungkapkan di atas telah diatur dalam konstitusi atau UUD 1945. Dalam tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa negara bertujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut terlibat dalam usaha perdamaian dunia. Lebih lanjut tentang hak-hak rakyat baik bersifat sosial-ekonomis dan politik, diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 27-34.

Namun sejauh ini apa yang telah diatur dalam konstitusi tersebut, masih sering dilanggar oleh negara yang berkewajiban sesuai dengan amanat UUD 1945. Ambil contoh, dalam pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD sebagaimana mandat pasal 31 UUD 1945, sampai kini belum dipenuhi. Padahal pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen sangat berarti untuk menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian dalam penguasaan sumber kekayaan alam oleh negara dan dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran rakyat juga tidak dipenuhi. Saat ini, banyak kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Parahnya, rakyat bukan semakin makmur, justru makin miskin. Misalnya dalam kasus PT Freeport Indonesia. Perusahaan milik AS yang beroprasi sejak tahun 1967 ini, merupakan salah satu perusahaan tembaga dan mas terbesar di dunia (ke-3) dan berpenghasilan melebihi ¼ PDB Indonesia, namun keberadaannya justru tidak mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Papua. Sungai-sungai besar di Papua tercemar, pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua, perdagangan kaum perempuan dan kemiskinan justru lebih terlihat nyata dibandingkan kemakmuran yang dirasakan.

Hal di atas hanya sedikit dari sekian persoalan tentang pelanggaran tanggung jawab negara terhadap rakyat. Dalam pasal 27 UUD 1945, disebutkan negara menjamin kehidupan yang layak dan lapangan pekerjaan. Tapi dengan dinaikannya harga BBM, justru kehidupan rakyat semakin menyedihkan karena harga-harga melonjak dan pendapatan yang minim. Di lain sisi, juga mengancam lapangan pekerjaan karena naiknya harga BBM juga berimbas bagi adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara kaum tani terancam tidak bisa berproduksi, karena besarnya biaya produksi yang harus ditanggung seperti bubuk dan bibit. Dalam hal politik misalnya, hak-hak berpendapat dan berorganiasi juga masih dikekang, seperti larangan berdemonstrasi dan stigmaisasi organisasi dengan tuduhan sebagai PKI dan ounderbouwnya. Atau bagaimana Kejaksaan Agung rejim SBY-Kalla mengeluarkan kebijakan membatalkan proses hukum Soeharto, padahal hal ini merupakan mandat TAP MPR dan cita-cita reformasi serta menginjak-injak rasa keadilan masyarakat.

Masing-masing klas, sektor atau golongan ini memiliki kepentingan sosial-ekonomis tersendiri, namun secara umum setiap klas, sektor dan golongan ini disatukan atas dasar penindasan yang sama, yaitu penindasan dan penghisapan dari imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat melalui rejim boneka-nya di Indonesia yang merupakan kekuasaan (kediktatoran) bersama antara borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat yang selalu setia melayani kaum kapitalis monopoli internasional (imperialisme). Inilah yang menjadi pertautan persatuan dan perjuangan bersama seluruh rakyat tertindas di Indonesia saat ini.

Hingga kemudian tidak salah dan sangat wajar jika kemudian seringkali muncul demonstrasi atau unjuk rasa dari masyarakat yang menuntut hak-haknya, karena memang selama ini hak-hak demokratis rakyat tidak dipenuhi oleh negara. Dan hal ini sangat penting, karena rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat. Bukan pejabat atau pengusaha baik asing atau swasta. Karena tanpa rakyat, negara ibaratnya rumah tanpa pondasi yang bisa dipastikan akan mudah roboh tanpa perlu diterpa angin yang kencang. Maka, sesungguhnya kedaulatan rakyat seperti yang disebutkan dalam Konstitusi Replubik

Tentang Hak-Hak Demokratis Mahasiswa
Hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa adalah hak-hak normatif atau hak-hak dasar pemuda-mahasiswa yang meliputi kepentingan sosial-ekonomis dan politik yang harus dipenuhi sebagaimana mestinya, baik yang bersifat tuntutan lahiriah ataupun yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan hukum yang berlaku. Secara umum, hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa adalah meliputi hak atas pendidikan dan jaminan lapangan pekerjaan.

Jika kita mengkaji lebih jauh, banyak sekali hak-hak demokratis pemuda-mahasiswa yang tidak dipenuhi, namun secara umum hal tersebut menyangkut persoalan tentang pendidikan dan lapangan pekerjaan. Bukan sekedar gosip jika kini kampus seperti UGM, UI atau ITB termasuk dalam daftar kampus termahal di Indonesia, terutama sejak diberlakukan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada 6 kampus besar (UI, ITB, IPB, UGM, UPI, dan USU) di Indonesia. Selain soal besarnya biaya masuk dan SPP, masih disusul serangkaian biaya seperti BOP, dana praktikum, sumbangan orang tua atau deretan “pungli” yang tidak jelas. Diberlakukannya sistem “jalur khusus” di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka, semakin membuka tabir komersialisasi pendidikan. Dengan uang belasan juta hingga puluhan juta, seseorang bisa dengan mudah berkuliah. Pertanyaannya, berapa banyak rakyat Indonesia yang berpenghasilan seperti itu? Mengingat, rata-rata pendapatan orang Indonesia berada di bawah 2 dollar AS per hari.

Mahalnya biaya pendidikan, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas pendidikan. Tidak sedikit kampus-kampus, baik swasta dan negeri—yang memiliki fasilitas tidak memadai. Laboratorium, ruangan kelas, bangku kuliah, WC, parkiran atau jasa internet, sering menjadi keluhan bagi mahasiswa. Iklan-iklan pendidikan yang sering ditawarkan, justru sering menipu mahasiswa. Apa yang tercantum dalam brosur, ternyata tidak sesuai dengan fakta ketika mahasiswa menginjakkan kakinya di kampus.

Justru yang sering terjadi, banyak fasilitas pendidikan di kampus yang didagangkan atau didirikannya fasilitas-fasilitas yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan mahasiswa, tetapi lebih ditujukan untuk mencari keuntungan komersil dengan cara-cara seperti penyewaan auditorium/aula, pemasangan iklan, pembukaan ritel-ritel perusahaan tertentu atau kerjasama dengan perusahaan tertentu untuk menambah pundi-pundi kas birokrasi kampus.

Kemudian pelayanan pendidikan yang cenderung birokratis (istilahnya dipingpong) hingga soal dosen yang sering bolos ngajar, anti kritik, monologis dan dogmatis. Dosen-dosen sendiri juga terancam kehidupannya, karena rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima. Sementara, para petinggi kampus bisa terus mengganti mobil baru atau rumah baru dan mendapatkan kenaikan gaji.

Lantas bagaimana dengan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Majalah Asia Week (2003) melaporkan bahwa kampus sekelas UI dan UGM hanya menempati urutan 60-70 an dari seluruh universitas di Asia Pasifik. Peringkat pendidikan Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam dan Philipina, karena minimnya lulusan pendidikan tinggi yang terserap dalam lapangan kerja formal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana Indonesia yang menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan besar biaya yang dikeluarkan ketika kuliah.

Sektor pendidikan Indonesia saat ini menuju pada liberalisasi dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Setidaknya ada beberapa hal yang meindikasikan hal tersebut. Pertama, pencabutan subsidi pendidikan yang telah mendorong biaya pendidikan menjadi mahal, karena pendidikan ditujukan menjadi barang dagangan (komoditi) bukan lagi pelayanan negara terhadap rakyat. Liberalisasi sektor pendidikan sendiri secara global telah diatur oleh salah satu lembaga milik imperialisme yaitu organisasi perdagangan dunia (WTO) dalam General Agreement on Trade Services (GATS) tentang liberalisasi perdagangan jasa pendidikan.

Selanjutnya, dalam kesepakatan untuk mendapatkan utang luar negeri melalui CGI dan IMF, pemerintah diharuskan mencabut subsidi sosial, seperti pendidikan, kesehatan, BBM, listrik, air dan telepon. Hingga dalam APBN, alokasi anggaran pendidikan hanya berkisar 4-9% per tahun, dimana 40 persen porsi anggaran dialokasikan untuk pembayaran utang dan rekapitalisasi perbankan, dimana hasilnya juga tidak dinikmati oleh rakyat.

Pencabutan subsidi pendidikan telah mendorong terjadinya proses privatisasi pendidikan, terutama bagi kampus-kampus negeri. Setelah memberlakukan status BHMN bagi 6 PTN terkemuka di Indonesia, pemerintah tengah berupaya menerapkan sistem Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT). Dengan BHPT, kampus-kampus di Indonesia akan diubah tak bedanya dengan perusahaan yang berorientasi profit, bukan membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam bangku kuliah dan institusi pendidkan yang bertujuan mencerdasakan kehidupan bangsa. Dorongan privatisasi pendidikan semakin jelas, ketika dalam rencana strategis (renstra) pendidikan 2005, pemerintah secara jelas menekankan pendidikan diukur dari kemampuan ekonomi seseorang. Artinya, sekolah bermutu hanya bagi mereka yang berduit, sedangkan bagi mereka yang miskin hanya bisa mendapatkan sekolah pas-pasan.

Dibukanya kerjasama dengan dunia industri—sesuai kurikulum berbasis kompetensi, tidak menjamin lulusan perguruan tinggi bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Sejauh ini, kerjasama lebih ditujukan untuk menarik minat calon mahasiswa dengan embel-embel magang kerja dan sebagainya. Terbukti, ketika musim seleksi PNS datang, tidak sedikit sarjana yang harus ngantri untuk mengikuti seleksi. Itupun belum tentu diterima, tergantung bagaiman kemampuan menyogok “orang dalam”. Atau fakta deretan sarjana yang sering mengutak-atik jasa iklan lowongan pekerjaan dan keluar masuk kantor perusahaan.

Sebagai catatan, angka pengangguran masih terus bergerak naik. Pada tahun 1997 jumlah pengangguran mencapai 5,4 persen. Di tahun 2004 naik hingga 10,8 persen. Jika menghitung pengangguran tertutup atau mereka yang setengah menganggur, angka pengangguran telah mencapai lebih dari 40 juta. Ironisnya, sebagian besar pengangguran menimpa tenaga kerja muda dan perempuan. Sekitar tiga dari sepuluh angkatan kerja berusia 15 hingga 24 tahun adalah penganggur. Kelompok muda penganggur ini mencapai dua pertiga dari total pengangguran yang ada (26,7 juta jiwa). Angka perempuan penganggur lebih besar dibandingkan dengan penganggur laki-laki. Pada tahun 2005, pemerintah menjanjikan akan menyerap 2 juta tenaga kerja bila target pertumbuhan bisa mencapai 5,5 persen. Namun angkatan kerja yang baru setiap tahun tumbuh lebih dari 2,5 juta. Depnaker dalam perhitungan terakhir menyebutkan bahwa jumlah penggangguran terbuka di seluruh Indonesia sekitar 10,25 juta jiwa. Kemungkinan tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 1,8 juta jiwa dari 2 juta pekerja. Artinya, logika pertumbuhan ekonomi ala Bretton Woods yang diagung-agungkan pemerintah ternyata tidak mampu menyerap lulusan perguruan tinggi, karena sekitar 55 persen angakatan kerja adalah lulusan sekolah dasar ke bawah.

Ancaman lain adalah masuknya perguruan tinggi asing ke dalam negeri. Terkait hal ini, pemerintah bahkan berencana akan merevisi UU Sisdiknas Nomor 20/2003 untuk memudahkan masuknya institusi pendidikan asing. Apakah kehadiran jasa pendidikan asing akan meningkatkan kualitas pendidikan? Dari segi biaya saja harganya dipastikan akan sulit dijangkau. Apalagi dengan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Biaya pendidikan yang ada saat ini saja, telah menyulitkan akses untuk berkuliah. Kemudian ancaman kebangkrutan bagi kampus-kampus kecil yang kurang ternama. Jika ingin bertahan hanya dua pilihan yaitu menekan mahasiswa dengan menaikan biaya kuliah atau mengalihkan modalnya kepada kampus-kampus asing atau kampus besar (merger/akuisisi). Pilihan terakhir adalah menutup kampus, karena tidak sanggup lagi menahan besar biaya operasional.

Dengan demikian, liberalisasi memang tidak menjawab persoalan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia apalagi pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masa depan pendidikan Indonesia justru terancam dengan krisis yang akan semakin kronis karena liberalisasi pendidikan yang sesungguhnya adalah “mega proyek” imperialisme di sektor pendidikan.

Kampus tidak bisa dinilai sebagai lembaga yang otonom secara nilai. Sebagai institusi sosial yang mengajarkan dan menyebarluaskan nilai-nilai sosial, imperialisme dan kaki tangannya di dalam negeri tentu saja berkepentingan untuk menanamkan dominasinya sekaligus hegemoninya di tengah kampus. Selain bertujuan menghasilkan tenaga kerja murah yang akan mengisi kantong-kantong perusahaan imperialis dan kompradornya, kaum intelektual kampus adalah sasaran empuk bagi calon-calon “propagandis” yang akan menyebarluaskan nilai-nilai dari sistem yang mendominasi yaitu imperialisme dan feodalisme.

Tidak sedikit pandangan-pandangan kaum intelektual kampus yang mendukung masuknya investasi asing, menentang land reform, atau mengkebiri kekritisan mahasiswa di kampus. Hingga kemudian menjauhkan mahasiswa dari realitas “bobrok”nya kampus dan kemiskinan rakyat Indonesia. Mahasiswa takut berbicara lantang, karena di ancam nilai jelek, presensi hingga drop out (DO). Mahasiswa hanya didorong sekedar menikmati persoalan akademis kampus. Aktifitas kritis dikampus dianggap tidak sesuai dengan iklim akademis. Padahal dalam demokrasi—seperti yang sering dikutip para petinggi kampus, demonstrasi, kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi adalah hal yang wajar-wajar saja.

Mahasiswa yang katanya agent 0f change dan agent of social control, ternyata sulit menerapkan ilmunya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat. Hal ini terjadi karena pemberian materi-materi perkuliahan memang menjauhkan mahasiswa dari realitas kemiskinan rakyat Indonesia. Sarjana arsitektur Indonesia lebih bangga membangun gedung pencakar langit dibandingkan mendirikan perumahan bagi kaum buruh yang terus menempati bedeng-bedeng kumuh di perkotaan. Mahasiswa ekonomi dicekoki dengan teori ekonomi pertumbuhan yang justru mengakibatkan lautan PHK dan membludaknya pengangguran. Warisan kolonial yang dipelajari mahasiswa hukum dalam KUHP dan deretan pasal karetnya, ternyata lebih sering digunakan untuk menjerat perjuangan rakyat yang menuntut hak-hak demokratisnya. Wajar kemudian jika banyak pengacara yang memilih membela pejabat korup dibandingkan membela kaum tani dan buruh.

Bangkit, Berorganisasi dan Bergerak Gapai Hak Kita
Pemuda-mahasiswa harus menyadari bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi hak-hak demokratisnya. Dengan menyadari ini dan kemudian kita melihat bahwa hak-hak demokratis tersebut tidak dipenuhi oleh negara, maka mau tidak mau kita harus berjuang untuk mendapatkannya. Tapi sekali lagi, untuk memperjuangkan itu semua, pemuda-mahasiswa membutuhkan alat yang tepat. Dan alat itu adalah organisasi. Hanya dengan berorganisasi lah pemuda-mahasiswa bisa mengaspirasikan tuntutannya dan bersama seluruh massa pemuda-mahasiswa yang tergabung dalam organisasi bisa memperjuangkannya secara bersama. Karena perubahan tidak bisa tercipta melalui segelintir orang. Tapi perubahan sangat ditentukan oleh kekuatan massa, karena perubahan sesungguhnya adalah karya massa. Dengan bergabung dalam organisasi massa yang militan, patriotik dan demokratis, massa pemuda-mahasiswa akan bergerak melalui program-program aksi yang konkret untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dan menggapai tuntutan-tuntutan hak-hak demokratisnya. Bangkitlah kaum muda Indonesia!

Hingga sangat banyak pemuda pedesaan yang beralih ke perkotaan, karena di desa pekerjaan sebagai tani tidak menjanjikan jaminan penghidupan yang lebih layak, karena adanya monopoli pengusaan tanah dan hasil produksi pertanian oleh tuan tanah baik perorangan ataupun institusi milik negara, swasta dan asing, seperti inhutani dan perhutani.

Baik sekolah atau perguruan tinggi saat ini, ada yang dikelola langsung oleh negara dan ada juga yang ditangani oleh pihak swasta. Seiring terjadinya liberalisasi pendidikan dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan, kondisi institusi pendidikan negeri (milik negara) dan institusi pendidikan swasta (dikelola badan usaha) sudah tidak jauh berbeda, yaitu mahalnya biaya pendidikan. Sementara tentang persoalan pengangguran, juga tidak terlepas dari kondisi dunia pendidikan yang “bobrok”, hingga banyak pemuda di negeri ini sulit mengenyam pendidikan dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyerap lulusan dunia pendidikan dalam dunia kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar